SAATNYA KEMBALI KEPADA ALLAH
Posted by : Unknown
on 00.06
sumber gambar: http://www.allah.org/
Oleh : Ulis Tofa, LC.
Sumber : Dakwatuna.Com
Rasanya bangsa Indonesia tidak lepas didera berbagai bencana, sampai hari ini, silih berganti. Belum selesai penanganan musibah yang satu, muncul baru musibah yang sebelumnya tidak pernah kita duga. Sebagaimana dalam iklan banner dakwatuna kita, begitu banyak contoh musibah tersebut.
Hakekat MusibahSumber : Dakwatuna.Com
Rasanya bangsa Indonesia tidak lepas didera berbagai bencana, sampai hari ini, silih berganti. Belum selesai penanganan musibah yang satu, muncul baru musibah yang sebelumnya tidak pernah kita duga. Sebagaimana dalam iklan banner dakwatuna kita, begitu banyak contoh musibah tersebut.
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa manusia di muka bumi pasti diuji dengan berbagai hal. Diuji dengan sesuatu yang menyenangkan atau sebaliknya sesuatu yang tidak disukai. Sesuatu yang tidak disukai beragam macamnya. Rasa takut, kelaparan, berkurangnya harta dan jiwa, bahkan hal yang berharga lainnya.
Allah swt. telah menyatakan hal demikian dalam surat Al-Baqarah: 155-157
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
”Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Rasa takut selalu menyertai kehidupan manusia. Misalnya, ketika ia masih duduk dibangku belajar, takut tidak lulus. Sudah lulus, takut tidak mendapatkan pekerjaan. Sudah bekerja takut tidak cukup gajinya. Sudah cukup, masih khawatir untuk menikah. Sudah menikah takut tidak punya anak. Sudah punya anak takut anaknya bandel, dan seterusnya… setiap kita memiliki rasa takut itu.
Yang lain, kelaparan. Hari-hari ini kita menyaksikan kemiskinan dipertontonkan oleh media massa. Banyak saudara-saudara kita yang antri ingin membeli beras dari operasi pasar pemerintah. Ada saudara kita yang makan nasi jagung, tidak sedikit makan nasi aking, bahkan dimasa paceklik banyak yang tidak makan.
Kekurangan harta dan jiwa. Ketika banjir melanda Jabodetabek, dan Jakarta kelep, selain rasa takut menggelayuti warga, juga kehilangan harta bahkan jiwa. Tidak terhitung jumlah kerugian, baik fisik maupun kegiatan ekonomi yang mandek. Banyak yang meninggal dunia, karena tersengat listrik, keseret air, atau kedinginan dan tidak mendapatkan makanan.
Rasanya Indonesia tidak lepas didera berbagai bencana, sampai hari ini, silih berganti. Belum selesai penanganan musibah yang satu, muncul baru musibah yang sebelumnya tidak pernah kita duga. Sebagaimana dalam iklan banner dakwatuna kita, begitu banyak contoh musibah tersebut.
Yang lebih penting, adalah sikap introspeksi masyarakat Indonesia, lebih lagi pemerintahnya. Ada apa ini?. Apakah ini semata-mata teguran Allah swt., karena kicintaan-Nya terhadap bangsa ini yang sudah terlalu lama melupakan-Nya? Atau karena musibah itu ternyata akibat dari ulah tangan-tangan jahil manusia?
Yah, Allah swt menegur manusia dengan adanya musibah itu, benar. Dan ternyata berbagai bencana itu akibat ulah tangan manusia juga benar. Bahkan Walhi sebuah LSM yang perhatian terhadap masalah lingkungan hidup mencatat ada sekitar 145 musibah menimpa bangsa ini selama kurun tahun 2006, namun dari banyaknya peristiwa itu ternyata 135 musibah itu disebabkan karena ulah manusia. Sehingga benar informasi Allah swt dalam surat Ar-Rum: 41.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ketika sebagian besar musibah akibat dari ulah tangan manusia, semestinya pertama kali yang harus mereka sikapi adalah merasa bersalah, meminta ma’af dan memperbaikinya. Namun kalau kita dengar pernyataan dari pemimpin kita, mereka mengatakan ini hanya gejala alam saja, tidak ada kaitannya dengan kesalahan kepemimpinan mereka, juga tidak mengaitkan dengan kekuatan Allah swt.
Introspeksi Diri
Sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa para sahabat radhiyallahu anhum ketika mengalami musibah, kekalahan dalam pertempuran, atau yang lainnya, seketika itu mereka sadar, boleh jadi ada saham kesalahan yang mereka lakukan. Ketika mereka mengalami kekalahan dalam perang Uhud misalkan, mereka langsung mengevaluasi, memperbaiki diri dan mempersiapkan kemenangan.
Sikap mereka ini direkam Allah swt. dalam surat Ali Imran: 147
وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلاَّ أَن قَالُواْ ربَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينََ
“Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.”
Langkah strategis pertama mensikapi musibah adalah menyadari kesalahan diri. ”Ighfirlanaa dzunubanaa”.
Tidak terbayang sebelumnya, bahwa air banjir masuk sampai ke kamar tidur kita, menenggelamkan semua isi di dalamnya. Ketika itu kita berdo’a dengan sangat khusyu’, namun kita belum mengakui, boleh jadi ada saham kesalahan yang kita perbuat, tidak juga mengucapkan istirja’ dengan penuh keyakinan, innaa lillahi wa innaa ilaihi raa’jiuun.
Jika demikian, kita khawatir seperti kaum terdahulu yang Allah swt. gambarkan dalam Al Qur’an, yaitu kaum yang ketika dicekam bencana mereka serta merta berdo’a dengan sangat khusyu’. Ketika berbaring, lagi duduk, atau sambil berdiri, praktis dalam semua kondisi mereka berdo’a dan bergumam mengharap kepada Allah swt agar semua musibah segera berlalu. Tapi ketika Allah swt. menghilangkan bencana tersebut, mereka berlenggang, seakan-akan mereka sebelumnya tidak pernah berdo’a dan seakan-akan mereka tidak pernah dicekam bencana. Wal iyadzu billah.
وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَآئِماً فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 12)
Sikap kedua, adalah meneguhkan jati diri sebagai muslim “Tsabbit aqdamanaa”.
Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk hidup bersih, pola hidup sehat, budaya tertib, membuang sampah pada tempatnya, menyingkirkan duri dari jalan, menanam pohon, tolong menolong dalam kebaikan, kerja bakti, larangan merusak tanaman dst.
Seandainya ummat sadar akan identitas ini, meskipun kelihatannya sederhana, namun sangat berarti dampaknya.
Terutama pemerintah yang bertanggungjawab akan keselamatan rakyatnya, seharusnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan dan berpihak kepada rakyat, bukan menguntungkan kelompok tertentu. Sehingga kalau hujan turun misalkan, bukannya sampah berserakan di jalan-jalan, bukan macet yang jadi pemandangan, dan bukan banjir yang menjadi langganan, juga bukan mengakibatkan kerusakan lainnya, apalagi memakan jiwa. Namun hujan akan membawa keberkahan dan keselamatan. Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintakan pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (Muttafaqun ‘alaihi).
Langkah strategis ketiga, adalah mempersiapkan kemenangan ”Unshurnaa”.
Ummat mau tidak mau harus mempersiapkan pemimpin, memunculkan tokoh yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Yaitu pemimpin yang mendorong perbaikan dan perubahan. Pemimpin yang melepangkan jalan kesejahteraan. Pemimpin yang membantu rakyatnya dalam mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sudah saatnya ummat sadar, bahwa satu suara yang mereka salurkan adalah amanah dari Allah swt yang akan dimintai pertanggungjawabannya di yaumil hisab nanti. Sudah saatnya ummat sadar bahwa pilihan mereka menjadi taruhan, apakah kedepan akan ada perubahan atau malah sebaliknya. Ummat pun jangan sampai terprovokasi dengan kepentingan sesaat dan pragmatis, berupa iming-iming materi atau kedudukan. Namun sengsara berkepanjangan. Dari Ibnu Abbas Ra, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memilih seseorang untuk menjadi pemimpin suatu kaum, padahal di kaum tersebut ada orang yang lebih diridhoi Allah daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman” (Hadits Shahih Riwayat Al-Hakim, di dalam kitab Al-Mustadrak). Allahu A’lam.
Label:
Artikel,
Tazkiyatun Nafs
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
terdapat pada sumber. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar