tag:blogger.com,1999:blog-18253581112060992672024-03-12T16:53:31.028-07:00My Spirit!Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.comBlogger52125tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-76216657420207359372013-01-02T04:43:00.001-08:002013-01-02T04:44:29.852-08:00MENJADI PRIBADI YANG BERSYUKUR<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjg7deUhQtdAymVXT-xemSFvicx98B5e2PGtg0YF5eRmwEf7a80L6Xk1CYqrXhHtuyIiBRsqgQbsXM3klDF9VZDa5H45XyKjrpJ2pRJiSEanI5N59cp2F38mvKXvsqVI5gacok4Hs3gj8Ub/s1600/belajar-syukur.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjg7deUhQtdAymVXT-xemSFvicx98B5e2PGtg0YF5eRmwEf7a80L6Xk1CYqrXhHtuyIiBRsqgQbsXM3klDF9VZDa5H45XyKjrpJ2pRJiSEanI5N59cp2F38mvKXvsqVI5gacok4Hs3gj8Ub/s320/belajar-syukur.jpg" width="259" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
http://abckisahku.blogspot.com/2012/06/seharusnya-kita-banyak-bersyukur.html</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Oleh : Dr. Attabiq Luthfi, MA.</span></span><br />
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Sumber : Dakwatuna</span></span><br />
<span style="font-size: 85%;"></span><br />
<span style="font-style: italic;">“Mereka
(Para Jin) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang
dikehendakinya, di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi,
patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan
periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai
keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali dari
hamba-hamba-Ku yang bersyukur”. </span>(Saba’:13)<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat ini
mengabadikan anugerah nikmat yang tiada terhingga kepada keluarga nabi
Daud as sebagai perkenan atas permohonan mereka melalui lisan nabi
Sulaiman as yang tertuang dalam surah Shaad: 35, <span style="font-style: italic;">“Ia
berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Pemberi”.</span> Betapa nikmat yang begitu banyak ini menuntut sikap syukur yang totalitas yang dijabarkan dalam bentuk amal nyata sehari-hari.<br />
<br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Tampilnya
keluarga Daud sebagai teladan dalam konteks bersyukur dalam ayat ini
memang sangat tepat, karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">“Shalat
yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat nabi Daud; ia tidur
setengah malam, kemudian bangun sepertiganya dan tidur seperenam malam.
Puasa yang paling dicintai oleh Allah juga adalah puasa Daud; ia puasa
sehari, kemudian ia berbuka di hari berikutnya, dan begitu seterusnya”.</span></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Bahkan
dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dari Tsabit Al-Bunani dijelaskan bagaimana
nabi Daud membagi waktu shalat kepada istri, anak dan seluruh
keluarganya sehingga tidak ada sedikit waktupun, baik siang maupun
malam, kecuali ada salah seorang dari mereka sedang menjalankan shalat.
Dalam riwayat lain yang dinyatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh bahwa nabi
Daud pernah mengadu kepada Allah ketika ayat ini turun. Ia bertanya:<span style="font-style: italic;">
“Bagaimana aku mampu bersyukur kepada Engkau, sedangkan bersyukur
itupun nikmat dari Engkau? Allah berfirman, “Sekarang engkau telah
bersyukur kepadaKu, karena engkau mengakui nikmat itu berasal
daripada-Ku”.</span></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Keteladanan nabi Daud yang disebut sebagai
objek perintah dalam ayat perintah bersyukur di atas, ternyata
diabadikan juga dalam beberapa hadits yang menyebut tentang keutamaan
bekerja. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah
saw bersabda, <span style="font-style: italic;">“Tidaklah seseorang itu
makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena
sesungguhnya nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya
sendiri.”</span></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Bekerja yang dilakukan oleh nabi Daud tentunya
bukan atas dasar tuntutan atau desakan kebutuhan hidup, karena ia
seorang raja yang sudah tercukupi kebutuhannya, namun ia memilih sesuatu
yang utama sebagai perwujudan rasa syukurnya yang tiada terhingga
kepada Allah swt.</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Secara redaksional, yang menarik karena berbeda
dengan ayat-ayat yang lainnya adalah bahwa perintah bersyukur dalam
ayat ini tidak dengan perintah langsung “Bersyukurlah kepada Allah”,
tetapi disertai dengan petunjuk Allah dalam mensyukuri-Nya, yaitu
“Bekerjalah untuk bersyukur kepada Allah”. Padahal dalam beberapa ayat
yang lain, perintah bersyukur itu langsung Allah sebutkan dengan redaksi
fi’il Amr, seperti dalam firman Allah yang bermaksud, <span style="font-style: italic;">“Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku”.</span> (Al-Baqarah: 152), juga dalam surah Az-Zumar: 66, <span style="font-style: italic;">“Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.</span></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Redaksi
seperti dalam ayat di atas menunjukkan bahwa esensi syukur ada pada
perbuatan dan tindakan nyata sehari-hari. Dalam hal ini, Ibnul Qayyim
merumuskan tiga faktor yang harus ada dalam konteks syukur yang
sungguh-sungguh, yaitu dengan lisan dalam bentuk pengakuan dan pujian,
dengan hati dalam bentuk kesaksian dan kecintaan, serta dengan seluruh
anggota tubuh dalam bentuk amal perbuatan.</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Sehingga bentuk
implementasi dari rasa syukur bisa beragam; shalat seseorang merupakan
bukti syukurnya, puasa dan zakat seseorang juga bukti akan syukurnya,
segala kebaikan yang dilakukan karena Allah adalah implementasi syukur.
Intinya, syukur adalah takwa kepada Allah dan amal shaleh seperti yang
disimpulkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi.</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Az-Zamakhsyari memberikan penafsirannya atas petikan ayat, <span style="font-style: italic;">“Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah”</span>
bahwa ayat ini memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan mengabdi
kepada Allah swt dengan semangat motifasi mensyukuri atas segala karunia
nikmat-Nya. Ayat ini juga menjadi argumentasi yang kuat bahwa ibadah
hendaklah dijalankan dalam rangka mensyukuri Allah swt.</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Makna
inilah yang difahami oleh Rasulullah saw ketika Aisyah mendapati beliau
senantiasa melaksanakan shalat malam tanpa henti, bahkan seakan-akan
memaksa diri hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah,<span style="font-style: italic;">
“Kenapa engkau berbuat seperti ini? Bukankah Allah telah menjamin untuk
mengampuni segala dosa-dosamu?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah (jika
demikian) aku menjadi hamba Allah yang bersyukur”.</span> (HR. Al-Bukhari).</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Pemahaman
Rasulullah saw akan perintah bersyukur yang tersebut dalam ayat ini
disampaikan kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra dalam bentuk pesannya
setiap selesai sholat, <span style="font-style: italic;">“Hai Muaz,
sungguh aku sangat mencintaimu. Janganlah engkau tinggalkan setiap
selesai sholat untuk membaca do’a, “Ya Allah, tolonglah aku untuk
senantiasa berzikir (mengingatiMu), mensyukuri (segala nikmat)Mu, dan
beribadah dengan baik”.</span> (HR. Abu Daud dan Nasa’i).</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Dalam
pandangan Sayid Qutb, penutup ayat di atas “Dan sedikit sekali dari
hamba-hamba-Ku yang bersyukur” merupakan sebuah pernyataan akan
kelalaian hamba Allah swt dalam mensyukuri nikmat-Nya, meskipun mereka
berusaha dengan semaksimal mungkin, tetapi tetap saja mereka tidak akan
mampu menandingi nikmat Allah swt yang dikaruniakan terhadap mereka yang
tidak terbilang. Sehingga sangat ironis dan merupakan peringatan bagi
mereka yang tidak mensyukurinya sama sekali. Dalam hal ini, Umar bin
Khattab ra pernah mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku
termasuk golongan yang sedikit”. Mendengar itu, Umar terkejut dan
bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena
saya mendengar Allah berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu
yang bersyukur”, makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit
tersebut.</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Ciri lain seorang hamba yang bersyukur secara korelatif
dapat ditemukan dalam ayat setelahnya bahwa ia senantiasa memandang
segala jenis nikmat yang terbentang di alam semesta ini sebagai bahan
perenungan akan kekuasaan Allah swt yang tidak terhingga, sehingga hal
ini akan menambah rasa syukurnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Allah swt
berfirman diantaranya, <span style="font-style: italic;">“Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah
bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur”</span>. (Saba’:19). Ayat
yang senada dengan redaksi yang sama diulang pada tiga tempat, yaitu
surah Ibrahim: 5, Luqman: 31, dan surah Asy-Syura’: 33.</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Memang
komitmen dengan akhlaqul Qur’an, di antaranya bersyukur merupakan satu
tuntutan sekaligus kebutuhan di tengah banyaknya cobaan yang menerpa
bangsa ini dalam beragam bentuknya. Jika segala karunia Allah swt yang
terbentang luas dimanfaatkan dengan baik untuk kebaikan bersama dengan
senantiasa mengacu kepada aturan Allah swt, Sang Pemilik Tunggal, maka
tidak mustahil, Allah swt akan menurunkan rahmat dan kebaikanNya untuk
bangsa ini dan menjauhkannya dari malapetaka, karena demikianlah balasan
yang tertinggi yang disediakan oleh Allah swt bagi komunitas dan umat
yang senantiasa mampu mensyukuri segala bentuk nikmat Allah swt:</span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”.</span> (An-Nisa’:147) Allahu A’lam.</span></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-73714578028394140112012-12-27T20:08:00.002-08:002012-12-27T20:09:05.150-08:00BERHATI-HATI DENGAN WAKTU LUANG<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZcgWiz3jqJgXbtH8XpQnD1ACuNxtv1uNqMdyTrLG1Vy6WlObnI4JzEzNA0vMr81weo0LJeViYUZlW061ZzgctITC8ispt480mvLGNUis5NujkTGuYSmT8KITklhXbgWJjeLzuG9sI5g-Z/s1600/Cara-Memanfaatkan-waktu-luang-dengan-baik-menurut-islam.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZcgWiz3jqJgXbtH8XpQnD1ACuNxtv1uNqMdyTrLG1Vy6WlObnI4JzEzNA0vMr81weo0LJeViYUZlW061ZzgctITC8ispt480mvLGNUis5NujkTGuYSmT8KITklhXbgWJjeLzuG9sI5g-Z/s320/Cara-Memanfaatkan-waktu-luang-dengan-baik-menurut-islam.jpg" width="295" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
Sumber Gambar: http://kumpulanideq.blogspot.com/2010/10/tips-ampuh-cara-memanfaatkan-waktu.html </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%; font-weight: bold;">Oleh : Mochamad Bugi<br />Sumber : Dakwatuna.com</span><br />
<br />
“<span style="font-size: 180%; font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">T</span></span><span style="font-style: italic;">elah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling</span>.”
(Al-Hajj: 1). Maha Kuasa Allah yang menciptakan arena bumi sebagai
sarana ujian. Kekayaan alam yang begitu melimpah. Sungai-sungai jernih
yang melahirkan kehidupan. Hujan yang membangkitkan harapan. Dari
situlah, hamba-hamba Allah membuktikan diri: apakah ia sebagai hamba
yang konsisten atau dusta.</div>
<a name='more'></a>Ada baiknya berhati-hati dengan yang
boleh. Tak ada yang tanpa batas di dunia ini. Karena sunnatullah dalam
alam, semua tercipta dalam takaran tertentu. Dari takaran itulah,
keseimbangan bisa langgeng. Termasuk keseimbangan dalam diri manusia.<br />
<br />
Kalau
keseimbangan goyah, yang muncul adalah kerusakan. Dalam diri manusia,
ada tiga keseimbangan yang mesti terjaga: keseimbangan akal, rohani, dan
fisik. Satu keseimbangan terganggu, seluruh fisik mengalami kerusakan.<br />
<br />
<span class="fullpost"><br />Ketidakseimbangan
bukan cuma dari sudut kekurangan. Berlebih-lebihan pun bisa memunculkan
ketidakseimbangan. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis.
Di antara urusan fisik adalah makan dan minum.<br /><br />Allah swt. berfirman,<span style="font-style: italic;"> “….makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”</span> (Al-A’raf: 31)<br /><br />Berlebih-lebihan
dalam makan dan minum, walaupun halal, bisa memunculkan penyakit. Lebih
dari lima puluh persen sumber penyakit berasal dari lambung. Karena
itulah, Rasulullah saw. meminta kaum muslimin untuk mengerem makan. Dan
cara yang paling bagus adalah dengan puasa. Beliau saw. mengatakan, <span style="font-style: italic;">“Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat.”</span> (Al-hadits)<br /><br />Masih
banyak hal boleh lain yang mesti pas dengan takaran. Di antaranya,
hubungan seksual suami istri, tidur, dan juga bersantai.<br /><br />Sayangnya,
ada kecenderungan manusia senang bersantai. Sudah menjadi sifat dasar
manusia memilih jalan yang gampang daripada yang sukar. Lebih memilih
santai ketimbang banyak kerja.<span style="font-style: italic;"> “Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.”</span> (Al-Balad: 11)<br /><br />Santai
pada timbangan yang proporsional memang bagus. Karena itu bermakna
istirahat. Dari istirahatlah keseimbangan baru bisa lahir. Dengan
istirahat, lelah bisa tergantikan dengan kesegaran baru.<br /><br />Tapi,
ketika santai tidak lagi proporsional, yang muncul hura-hura dan
kemalasan. Orang menjadi begitu hedonis. Orientasi bergeser dari
keimanan kepada serba kesenangan. Saat itu, santai tidak cuma menggusur
jenuh, tapi juga kewajiban-kewajiban. Bisa kewajiban sebagai suami,
anak, dan juga sebagai hamba Allah swt.<br /><br />Di antara ciri orang beriman adalah berhati-hati dengan perbuatan yang sia-sia. Allah swt. berfirman, <span style="font-style: italic;">“Sungguh
beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk
dalam shalatnya, dan yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna.”</span> (Al-Mu’minun: 1-3)<br /><br />Rasulullah saw. mewanti-wanti para sahabat agar berhati-hati dengan waktu senggang. Beliau saw. bersabda, <span style="font-style: italic;">“Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang terpedaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang.”</span> (HR. Bukhari)<br /><br />Ada
banyak cara menggusur letih dan jenuh. Letih dan jenuh kadang tidak
cuma bisa disegarkan dengan santai. Ada banyak cara agar penyegaran bisa
lebih bermakna dan sekaligus terjaga dari lalai.<br /><br />Para sahabat
Rasul biasa mengisi waktu kosong dengan tilawah, zikir, dan shalat
sunnah. Itulah yang biasa mereka lakukan ketika suntuk saat jaga malam.
Bergantian, mereka menunaikan shalat malam.<br /><br />Bentuk lainnya adalah
bermain dengan istri dan anak-anak. Rasulullah saw. pernah lomba lari
dengan Aisyah r.a. Kerap juga bermain ‘kuda-kudaan’ bersama dua cucu
beliau, Hasan dan Husein. Dari sini, santai bukan sekadar menghilangkan
jenuh. Tapi juga membangun keharmonisan keluarga.<br /><br />Rasulullah saw. mengatakan,<span style="font-style: italic;">
“Orang yang cerdik ialah yang dapat menaklukkan nafsunya dan beramal
untuk bekal sesudah wafat. Orang yang lemah ialah yang mengikuti hawa
nafsunya dan berangan-angan muluk terhadap Allah.”</span> (HR. Abu Daud)<br /><br />Dan
harus kita sadari betul, ada pihak lain yang mengintai kelengahan kita.
Pertarungan antara hak dan batil tidak kenal istilah damai. Tetap dan
terus berlangsung hingga hari kiamat. Dari situlah, saling mengintai dan
saling mengalahkan menjadi hal lumrah. Dan kewaspadaan menjadi hal yang
tidak boleh dianggap ringan.<br /><br />Pihak yang jelas-jelas melakukan
pengintaian adalah musuh abadi manusia. Dialah iblis dan para sekutunya.
Allah swt. membocorkan itu dalam firman-Nya. <span style="font-style: italic;">“Iblis
mengatakan, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang
lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat).”</span> (Al-A’raf: 16-17)<br /><br />Pihak
lain adalah kelompok manusia yang tidak suka dengan perkembangan Islam.
Mereka selalu mengintai kelemahan umat Islam, mengisi rumah-rumah umat
Islam dengan hiburan yang melalaikan. Bahkan, mengkufurkan. Masih banyak
upaya lain orang kafir untuk menghancurkan Islam.<br /><br />Karena itu,
berhati-hatilah dengan waktu luang. Kalau tidak bisa diisi dengan yang
produktif, setidaknya, isilah dengan yang tidak melalaikan.</span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-36716159368540958802012-12-27T00:06:00.001-08:002012-12-27T00:06:18.772-08:00SAATNYA KEMBALI KEPADA ALLAH<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxDmJmviMvsdAQ-1LYi0H5UUtdj2Q3LEORs9igOQALI89p4s3PSxnd7CWuyY8V-L6dRfqXmu0Kv_gVwaR_SMXjV9rrR2oinA0MLo7EbzPfjCdXP1vYnYgFfZd-GdmGRkCQ3GMpq0w6JdUe/s1600/allah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="222" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxDmJmviMvsdAQ-1LYi0H5UUtdj2Q3LEORs9igOQALI89p4s3PSxnd7CWuyY8V-L6dRfqXmu0Kv_gVwaR_SMXjV9rrR2oinA0MLo7EbzPfjCdXP1vYnYgFfZd-GdmGRkCQ3GMpq0w6JdUe/s320/allah.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
sumber gambar: http://www.allah.org/</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Oleh : Ulis Tofa, LC.</span><br /><span style="font-weight: bold;">Sumber : Dakwatuna.Com</span></span><br /><br /><span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">R</span></span>asanya
bangsa Indonesia tidak lepas didera berbagai bencana, sampai hari ini,
silih berganti. Belum selesai penanganan musibah yang satu, muncul baru
musibah yang sebelumnya tidak pernah kita duga. Sebagaimana dalam iklan
banner dakwatuna kita, begitu banyak contoh musibah tersebut.</div>
<a name='more'></a><span style="font-weight: bold;">Hakekat Musibah</span><br /><br />Sudah
menjadi sunnatullah, bahwa manusia di muka bumi pasti diuji dengan
berbagai hal. Diuji dengan sesuatu yang menyenangkan atau sebaliknya
sesuatu yang tidak disukai. Sesuatu yang tidak disukai beragam macamnya.
Rasa takut, kelaparan, berkurangnya harta dan jiwa, bahkan hal yang
berharga lainnya.<span class="fullpost"><br /><br />Allah swt. telah menyatakan hal demikian dalam surat Al-Baqarah: 155-157<br /><br />وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ
وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ<br />الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ<br />أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ<br /><br /><span style="font-style: italic;">”Dan
sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji’uun”. Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.”</span><br /><br />Rasa takut selalu menyertai kehidupan manusia.
Misalnya, ketika ia masih duduk dibangku belajar, takut tidak lulus.
Sudah lulus, takut tidak mendapatkan pekerjaan. Sudah bekerja takut
tidak cukup gajinya. Sudah cukup, masih khawatir untuk menikah. Sudah
menikah takut tidak punya anak. Sudah punya anak takut anaknya bandel,
dan seterusnya… setiap kita memiliki rasa takut itu.<br /><br />Yang lain,
kelaparan. Hari-hari ini kita menyaksikan kemiskinan dipertontonkan oleh
media massa. Banyak saudara-saudara kita yang antri ingin membeli beras
dari operasi pasar pemerintah. Ada saudara kita yang makan nasi jagung,
tidak sedikit makan nasi aking, bahkan dimasa paceklik banyak yang
tidak makan.<br /><br />Kekurangan harta dan jiwa. Ketika banjir melanda
Jabodetabek, dan Jakarta kelep, selain rasa takut menggelayuti warga,
juga kehilangan harta bahkan jiwa. Tidak terhitung jumlah kerugian, baik
fisik maupun kegiatan ekonomi yang mandek. Banyak yang meninggal dunia,
karena tersengat listrik, keseret air, atau kedinginan dan tidak
mendapatkan makanan.<br /><br />Rasanya Indonesia tidak lepas didera
berbagai bencana, sampai hari ini, silih berganti. Belum selesai
penanganan musibah yang satu, muncul baru musibah yang sebelumnya tidak
pernah kita duga. Sebagaimana dalam iklan banner dakwatuna kita, begitu
banyak contoh musibah tersebut.<br /><br />Yang lebih penting, adalah sikap
introspeksi masyarakat Indonesia, lebih lagi pemerintahnya. Ada apa
ini?. Apakah ini semata-mata teguran Allah swt., karena kicintaan-Nya
terhadap bangsa ini yang sudah terlalu lama melupakan-Nya? Atau karena
musibah itu ternyata akibat dari ulah tangan-tangan jahil manusia?<br /><br />Yah,
Allah swt menegur manusia dengan adanya musibah itu, benar. Dan
ternyata berbagai bencana itu akibat ulah tangan manusia juga benar.
Bahkan Walhi sebuah LSM yang perhatian terhadap masalah lingkungan hidup
mencatat ada sekitar 145 musibah menimpa bangsa ini selama kurun tahun
2006, namun dari banyaknya peristiwa itu ternyata 135 musibah itu
disebabkan karena ulah manusia. Sehingga benar informasi Allah swt dalam
surat Ar-Rum: 41.<br /><br />ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”</span><br /><br />Ketika
sebagian besar musibah akibat dari ulah tangan manusia, semestinya
pertama kali yang harus mereka sikapi adalah merasa bersalah, meminta
ma’af dan memperbaikinya. Namun kalau kita dengar pernyataan dari
pemimpin kita, mereka mengatakan ini hanya gejala alam saja, tidak ada
kaitannya dengan kesalahan kepemimpinan mereka, juga tidak mengaitkan
dengan kekuatan Allah swt.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Introspeksi Diri</span><br /><br />Sejarah
mengajarkan kepada kita, bahwa para sahabat radhiyallahu anhum ketika
mengalami musibah, kekalahan dalam pertempuran, atau yang lainnya,
seketika itu mereka sadar, boleh jadi ada saham kesalahan yang mereka
lakukan. Ketika mereka mengalami kekalahan dalam perang Uhud misalkan,
mereka langsung mengevaluasi, memperbaiki diri dan mempersiapkan
kemenangan.<br /><br />Sikap mereka ini direkam Allah swt. dalam surat Ali Imran: 147<br /><br />وَمَا
كَانَ قَوْلَهُمْ إِلاَّ أَن قَالُواْ ربَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا
وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وانصُرْنَا عَلَى
الْقَوْمِ الْكَافِرِينََ<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Tidak
ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami
dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan
tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir”.”</span><br /><br />Langkah strategis pertama mensikapi musibah adalah menyadari kesalahan diri. ”Ighfirlanaa dzunubanaa”.<br /><br />Tidak
terbayang sebelumnya, bahwa air banjir masuk sampai ke kamar tidur
kita, menenggelamkan semua isi di dalamnya. Ketika itu kita berdo’a
dengan sangat khusyu’, namun kita belum mengakui, boleh jadi ada saham
kesalahan yang kita perbuat, tidak juga mengucapkan istirja’ dengan
penuh keyakinan, innaa lillahi wa innaa ilaihi raa’jiuun.<br /><br />Jika
demikian, kita khawatir seperti kaum terdahulu yang Allah swt. gambarkan
dalam Al Qur’an, yaitu kaum yang ketika dicekam bencana mereka serta
merta berdo’a dengan sangat khusyu’. Ketika berbaring, lagi duduk, atau
sambil berdiri, praktis dalam semua kondisi mereka berdo’a dan bergumam
mengharap kepada Allah swt agar semua musibah segera berlalu. Tapi
ketika Allah swt. menghilangkan bencana tersebut, mereka berlenggang,
seakan-akan mereka sebelumnya tidak pernah berdo’a dan seakan-akan
mereka tidak pernah dicekam bencana. Wal iyadzu billah.<br /><br />وَإِذَا
مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَآئِماً
فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى
ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Dan
apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan
berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu
dari padanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah
dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang
telah menimpanya. begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 12)</span><br /><br />Sikap kedua, adalah meneguhkan jati diri sebagai muslim “Tsabbit aqdamanaa”.<br /><br />Islam
sangat menganjurkan ummatnya untuk hidup bersih, pola hidup sehat,
budaya tertib, membuang sampah pada tempatnya, menyingkirkan duri dari
jalan, menanam pohon, tolong menolong dalam kebaikan, kerja bakti,
larangan merusak tanaman dst.<br />Seandainya ummat sadar akan identitas ini, meskipun kelihatannya sederhana, namun sangat berarti dampaknya.<br /><br />Terutama
pemerintah yang bertanggungjawab akan keselamatan rakyatnya, seharusnya
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan dan berpihak
kepada rakyat, bukan menguntungkan kelompok tertentu. Sehingga kalau
hujan turun misalkan, bukannya sampah berserakan di jalan-jalan, bukan
macet yang jadi pemandangan, dan bukan banjir yang menjadi langganan,
juga bukan mengakibatkan kerusakan lainnya, apalagi memakan jiwa. Namun
hujan akan membawa keberkahan dan keselamatan. Rasulullah bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintakan
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (Muttafaqun ‘alaihi).<br /><br />Langkah strategis ketiga, adalah mempersiapkan kemenangan ”Unshurnaa”.<br /><br />Ummat
mau tidak mau harus mempersiapkan pemimpin, memunculkan tokoh yang akan
memperjuangkan kepentingan mereka. Yaitu pemimpin yang mendorong
perbaikan dan perubahan. Pemimpin yang melepangkan jalan kesejahteraan.
Pemimpin yang membantu rakyatnya dalam mewujudkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.<br /><br />Sudah saatnya ummat sadar, bahwa satu suara yang mereka
salurkan adalah amanah dari Allah swt yang akan dimintai
pertanggungjawabannya di yaumil hisab nanti. Sudah saatnya ummat sadar
bahwa pilihan mereka menjadi taruhan, apakah kedepan akan ada perubahan
atau malah sebaliknya. Ummat pun jangan sampai terprovokasi dengan
kepentingan sesaat dan pragmatis, berupa iming-iming materi atau
kedudukan. Namun sengsara berkepanjangan. Dari Ibnu Abbas Ra, Rasulullah
SAW bersabda, “Barangsiapa yang memilih seseorang untuk menjadi
pemimpin suatu kaum, padahal di kaum tersebut ada orang yang lebih
diridhoi Allah daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat
kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman” (Hadits Shahih
Riwayat Al-Hakim, di dalam kitab Al-Mustadrak). Allahu A’lam.</span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-28872904957017767662012-12-26T01:27:00.001-08:002012-12-26T01:27:43.905-08:00Bersabar dalam Bergaul <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBLTPYI2BAk7vDtGaLVxgHtT_bdnDI-AxXp2PEqr3DhHVbaJgzUBsmkqt0sfp4RDPi2Mz3COZ0U2AysVBgLwboh2iW4xWjE1DO5V_s7Dr_qCB4XIx8F1CG80H6IujzqRBiTQdJsKQf15Nb/s1600/sabar-ujian.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBLTPYI2BAk7vDtGaLVxgHtT_bdnDI-AxXp2PEqr3DhHVbaJgzUBsmkqt0sfp4RDPi2Mz3COZ0U2AysVBgLwboh2iW4xWjE1DO5V_s7Dr_qCB4XIx8F1CG80H6IujzqRBiTQdJsKQf15Nb/s1600/sabar-ujian.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
sumber Gambar: http://mutagencholchicine.blogspot.com/2011/10/sabar.html</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam pergaulan dengan manusia tidak akan lepas dari 2 kemungkinan,
apakah mewarnai atau diwarnai. Mewarnai maksudnya memberikan pengaruh,
sedangkan diwarnai maksudnya terpengaruh. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam memberikan perumpamaan yang sangat baik, dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang pergaulan dengan
penjual minyak wangi dan pandai besi. Demikian juga beliau
shallallahu’alaihi wasallam mengisyaratkan bahwa keadaan agama seseorang
itu dapat dilihat dari keadaan agama teman dekatnya, sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Demikian itu menunjukkan betapa
pentingnya dalam memilih teman bergaul.</div>
<a name='more'></a>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Setelah memahami rambu-rambu dalam pergaulan dan segala kemungkinan
yang akan terjadi, akankah kita tetap bergaul dengan manusia atau lebih
baik hidup menyendiri jauh dari manusia yang kebanyakan melakukan
perbuatan yang melampaui batas? Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
bersabda,</div>
<blockquote>
<div style="text-align: center;">
“Seorang mukmin yang bergaul dengan
manusia dan bersabar atas perangai buruk mereka lebih besar pahalanya
daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak
sabar dengan perangai buruk mereka.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan
Albani).<span id="more-847"></span></div>
</blockquote>
<div style="text-align: left;">
Jadi bergaul dengan manusia dan bersabar
terhadap gangguannya ternyata lebih baik daripada yang tidak bergaul,
tentunya setelah memahami batasan-batasan syar’i dan bersikap
sebagaimana yang diinginkan oleh syariat. Inilah salah satu implementasi
dari wasiat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma “bertaqwalah dimana saja kamu berada”.</div>
<div style="text-align: left;">
Bagi seorang mukmin yang telah memiliki
pengetahuan tentang agamanya serta telah istiqomah mengamalkannya,
pergaulannya kepada manusia akan memberikan manfaat yang besar,
diantaranya adalah dapat berdakwah, membantu saudaranya untuk
menyempurnakan agamanya setelah dia menyempurnakan untuk dirinya
sendiri. Disinilah dia harus berpegang pada metode mendasar dalam
berdakwah sebagaimana diajarkan oleh Allah Ta’ala “</div>
<blockquote>
<div style="text-align: center;">
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ</div>
<div style="text-align: center;">
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara
yang paling baik, karena sesungguhnya Tuhan-mu lah yang lebih tahu siapa
yang (pantas) tersesat dari jalan-Nya, dan Dia juga yang lebih tahu
siapa yang (pantas) menjadi orang-orang yang mendapatkan petunjuk”.
(An-Nahl: 125).</div>
</blockquote>
Hikmah adalah tingkatan yang pertama, yaitu dengan ilmu dan
menempatkan sesuatu pada tempatnya, berbicara dengan kadar pemahaman
mereka, sehingga mudah untuk dicerna dan diterima. Jika dengan hikmah
belum mampu menyentuh sasaran, maka berikanlah nasehat yang baik, yaitu
berupa kabar gembira dan ancaman, janji pahala dan siksa, namun tetap
dengan cara yang lemah lembut. Nabi Musa saja diutus Allah kepada
Fir’aun yang telah mengaku dirinya tuhan, agar berdakwah dengan lembut,
bagaimana pula sikap kepada sesama saudara muslim. Akhirnya, jika
nasehat yang baik pun tidak mempan, maka debatlah dengan cara yang
paling baik, yaitu dengan dalil-dalil yang tepat, bukan sekedar debat
“kusir” yang tidak akan berujung pada suatu kesimpulan. Diantara debat
yang baik adalah adalah yang memberikan persyaratan-persyaratan sebelum
dimulainya debat, sebagaimana <a href="http://pustakaalatsar.wordpress.com/2011/04/12/debat-ibnu-abbas-dengan-khawarij/" target="_blank" title="Debat Ibnu Abbas dengan Khawarij">debatnya Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma kepada kaum Khawarij</a>.
Selanjutnya, serahkan kepada Allah Ta’ala, tidak perlu bersedih, tidak
perlu memaksa, karena Dia lah yang lebih tahu siapa yang pantas tersesat
dari jalanNYa dan siapa yang layak mendapat petunjukNya.<br />
<br />
Ketika seseorang telah menemukan teman pergaulan yang bagus agamanya
serta shahih ilmunya, maka hendaknya mereka bersabar untuk tetap bergaul
dengan mereka. Bersabar, karena bisa jadi orang-orang yang shalih itu
mempunyai sifat-sifat serta perangai yang kurang baik, atau kurang pas
bahkan terkadang sulit diterima. Pahamilah, bahwa orang shalih itu
adalah manusia biasa, bukan Malaikat yang suci, bukan pula Nabi yang
maksum. Bersabarlah, karena bagaimanapun juga bergaul dengan mereka akan
memberikan manfaat. Bergaul dengan mereka berarti akan mendapatkan
warna yang baik. Bergaul dengan mereka akan memacu untuk berlomba-lomba
dalam kebaikan. Maka dari itu Allah Ta’ala memerintahkan untuk besabar
dan jangan berpaling dari mereka hanya karena menuruti hawa nafsu
sendiri, atau kepentingan dunia lainnya, atau mengikuti orang-orang yang
jahil serta lalai dari mengingat Allah, sehingga <a href="http://pustakaalatsar.wordpress.com/2012/02/13/dua-penyebab-pelanggaran/" target="_blank" title="Dua Penyebab Pelanggaran">menyebabkan berbagai macam pelanggaran</a>.<br />
<blockquote>
<div style="text-align: center;">
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا
تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا
تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا</div>
<div style="text-align: center;">
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”
[Kahfi: 28]</div>
</blockquote>
<div style="text-align: left;">
Maka bersabarlah dalam bergaul bersama
mereka dan tetap dalam kesabaran. Tidak ada batas dalam kesabaran
sebagaimana pahalanyapun tanpa batas. Dan kesabaran akan menjadi pelita,
sehingga siapa yang mempunyai pelita niscaya akan mampu terus berjalan
meski yang dilaluinya adalah lorong-lorong yang gulita.</div>
<div style="text-align: left;">
</div>
<div style="text-align: left;">
Artikel <a href="http://pustakaalatsar.wordpress.com/" target="_blank">Pustaka Al-Atsar</a></div>
<div style="text-align: left;">
Muscat, 13 Rajab 1433H</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-10795278246218066712012-12-20T04:18:00.000-08:002012-12-20T04:20:48.933-08:00Meninggalkan Bohong<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img height="132" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKtPp0O24ZVWTezXfuRuTFrC5OhLNYZ9z1wtlCs3IXGU2FWkW-1kIYy2T1k004cPdzAviADscpveVW88bI6nxGCGoiMlgZfjidCYFmLg_4Qg3zmZFJGNGOfwdA2_5dxEnPvB2ylo7tMNL0/s1600/jujur.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="380" /> </div>
<br />
<div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
Sumber Gambar: http://yudha-nurul-alfian.blogspot.com/2011/11/hikmah-meninggalkan-perkataan-bohong.html</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Luqman Hakim, menceritakan
pada suatu hari ada seorang telah datang berjumpa dengan Rasulullah <span class="”fullpost”"><span class="”fullpost”">Salallahu Alaihi Wasalam</span></span> karena hendak memeluk agama Islam. Sesudah mengucapkan dua
kalimah syahadat, lelaki itu lalu berkata :<br />
"Ya Rasulullah. Sebenarnya hamba ini selalu saja berbuat dosa dan sulit
untuk meninggalkannya." Maka Rasulullah menjawab : "Mahukah engkau
berjanji bahawa engkau sanggup meninggalkan perkataan bohong?"<br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1825358111206099267" name="more"></a><br />
"Ya, saya berjanji" jawab lelaki itu singkat. Selepas itu,<span class="”fullpost”"> dia pun pulanglah ke rumahnya.<br /><br />Menurut
riwayat, sebelum lelaki itu memeluk agama Islam, dia sangat terkenal
sebagai seorang yang jahat. Kegemarannya hanyalah mencuri, berjudi dan
meminum minuman keras. Maka setelah dia memeluk agama Islam, dia dengan
segala upaya meninggalkan segala keburukan itu. Sebab itulah dia meminta
nasihat dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam<br />Dalam perjalanan pulang dari menemui Rasulullah </span><span class="”fullpost”"><span class="”fullpost”">Salallahu Alaihi Wasalam</span> lelaki itu berkata di dalam hatinya :<br />"Berat juga aku hendak meninggalkan apa yang dikehendaki oleh Rasulullah itu."<br /><br />Maka setiap kali hatinya terdorong untk berbuat jahat, hati kecilnya terus mengejek.<br />"Berani
engkau berbuat jahat. Apakah jawaban kamu nanti apabila ditanya oleh
Rasulullah. Sanggupkah engkau berbohong kepadanya" bisik hati kecilnya.
Setiap kali dia berniat hendak berbuat jahat, maka dia teringat segala
pesan Rasulullah </span><span class="”fullpost”"><span class="”fullpost”">Salallahu Alaihi Wasalam</span> dan setiap kali pulalah hatinya berkata :<br />"Kalau
aku berbohong kepada Rasulullah bererti aku telah mengkhianati janjiku
padanya. Sebaliknya jika aku berkata benar bererti aku akan menerima
hukuman sebagai orang Islam. Ya Alloh....sesungguhnya di dalam pesanan
Rasulullah </span><span class="”fullpost”"><span class="”fullpost”">Salallahu Alaihi Wasalam </span>itu terkandung sebuah hikmah yang sangat berharga."<br /><br />Setelah
dia berjuang dengan hawa nafsunya itu, akhirnya lelaki itu berjaya di
dalam perjuangannya menentang kehendak nalurinya. Menurut hadis itu
lagi, sejak hari itu merupakan babak baru dalam hidupnya. Dia telah
berhijrah dari kejahatan kepada kemuliaan hidup seperti yang digariskan
oleh Rasulullah </span><span class="”fullpost”"><span class="”fullpost”">Salallahu Alaihi Wasalam</span> Hingga ke akhirnya dia telah berubah menjadi
mukmin yang soleh dan mulia.</span><br />
<br />
<span class="”fullpost”"><b><span style="font-family: Garamond;">sumber : File 1001 KisahTeladan by Heksa</span></b> </span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-21116995835902122962012-12-19T02:33:00.002-08:002012-12-19T02:37:08.831-08:00Mangkuk yang Cantik, Madu dan Sehelai Rambut<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7-tC_x1hApqlIpZOV1x-pcUMFz8cwQXbU4A3hMC9J2zAg8NQ2VwrdVlY4ewV0TYI4rbJ7Ng56ycsz2I1HjcOcg01Z6DBR0tmlYARjDUj7aR-u9d5r5zgduWh17ZqGHU450rB99SvQ86Y/s1600/mangkuk+yang+cantik+madu+dan+sehelai+rambut+%2528340x240%2529.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<img border="0" height="140" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7-tC_x1hApqlIpZOV1x-pcUMFz8cwQXbU4A3hMC9J2zAg8NQ2VwrdVlY4ewV0TYI4rbJ7Ng56ycsz2I1HjcOcg01Z6DBR0tmlYARjDUj7aR-u9d5r5zgduWh17ZqGHU450rB99SvQ86Y/s200/mangkuk+yang+cantik+madu+dan+sehelai+rambut+%2528340x240%2529.jpg" width="200" /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8UKvAfJwbdTJLvo9t8FIe1EpSNob3yUS-EGj8n7CTwrWQ7TioTjGCFA8cTs62sU-sna9yQJo40VIkqNGBuTVOUWAe8rgnQ55N3Vz-TLPcZC40K8dKj9pwGAPhxRHvVWgXA5z559DcYF8/s1600/365367790_3bc5e45691_m.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8UKvAfJwbdTJLvo9t8FIe1EpSNob3yUS-EGj8n7CTwrWQ7TioTjGCFA8cTs62sU-sna9yQJo40VIkqNGBuTVOUWAe8rgnQ55N3Vz-TLPcZC40K8dKj9pwGAPhxRHvVWgXA5z559DcYF8/s1600/365367790_3bc5e45691_m.jpg" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
Sumber Gambar: http://the4thengineer.blogspot.com/2011/05/mangkuk-cantik-madu-dan-sehelai-rambut.html</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div align="justify" style="margin-left: 10px;">
<span style="font-family: Garamond;">Rasulullah SAW,
dengan sahabat-sahabatnya Abakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., dan 'Ali r.a.,
bertamu ke rumah Ali r.a. Di rumah Ali r.a. istrinya Sayidatina Fathimah r.ha.
putri Rasulullah SAW menghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam
sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan sehelai
rambut terikut di dalam mangkuk itu. Baginda Rasulullah SAW kemudian meminta
kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda
tersebut (Mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut). </span></div>
<a name='more'></a><span style="font-family: Garamond;">Abubakar r.a.
berkata, "iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman
itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti
sehelai rambut".<br /><br />Umar r.a. berkata, "kerajaan itu lebih cantik dari
mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah
dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".<br /><br />Utsman r.a.
berkata, "ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang
menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber'amal dengan ilmu yang dimiliki
itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut". <br /><br />'Ali r.a. berkata, "tamu
itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari
madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumanya adalah lebih
sulit dari meniti sehelai rambut".<br /><br />Fatimah r.ha.berkata, "seorang wanita
itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu
lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yangtak pernah dilihat
orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai
rambut".</span><br />
<div align="justify" style="margin-left: 10px;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilB_d0qT-UAt1E0bxVI5JndHVeedav_9Flek2xn2YxH3jxCqGJ6kjYIYWdcPfGFIAehGgiCqWraUQCu2LhbtX7FyLQKep593Et6glfQgNLe68necB9PG3rLeag7TYN4P_YUBX0BQ59Ybc/s1600/mousefeet2.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="132" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilB_d0qT-UAt1E0bxVI5JndHVeedav_9Flek2xn2YxH3jxCqGJ6kjYIYWdcPfGFIAehGgiCqWraUQCu2LhbtX7FyLQKep593Et6glfQgNLe68necB9PG3rLeag7TYN4P_YUBX0BQ59Ybc/s200/mousefeet2.jpg" width="200" /></a>Rasulullah SAW berkata, "seorang yang mendapat taufiq untuk
ber'amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber'amal dengan 'amal
yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat 'amal dengan ikhlas adalah
lebih sulit dari meniti sehelai rambut". </div>
<div align="justify" style="margin-left: 10px;">
<span style="font-family: Garamond;"><br /> </span><br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Garamond;">Malaikat Jibril AS berkata,
"menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik,
menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan
mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai
rambut".<br /><br />Allah SWT berfirman, "Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk
yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju
sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut". <br /> </span></div>
<div align="justify" style="margin-left: 10px;">
<br /></div>
<div align="justify" style="margin-left: 10px;">
<b><span style="font-family: Garamond;">sumber : File
1001 KisahTeladan by Heksa</span></b></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-79804198421762847542012-12-16T04:36:00.003-08:002012-12-16T04:36:58.912-08:00HATI-HATI TERHADAP FITNAH WANITA<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCd7_dPKncoSp5reeeQrHTH4xocx6Wi8nxHeF0iKOsNNUyYQ8n1ztyvwyjEFsxcD2vHhIafQ6Na2-4VhGwRBuTHBCMTxuVb-RhM8XU8_fOkBaLFJeNTp5uoCjUT9oKhveHHyKc7Q_bib17/s1600/12.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCd7_dPKncoSp5reeeQrHTH4xocx6Wi8nxHeF0iKOsNNUyYQ8n1ztyvwyjEFsxcD2vHhIafQ6Na2-4VhGwRBuTHBCMTxuVb-RhM8XU8_fOkBaLFJeNTp5uoCjUT9oKhveHHyKc7Q_bib17/s320/12.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
sumber gambar: http://kartunislam.wordpress.com/2012/07/15/kartun-akhwat-kimono-27/ </div>
<br />
<br />
Allah Ta’ala berfirman:<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"> </span></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: 130%;"><strong style="font-weight: bold;">الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Laki-laki adalah pengayom bagi para wanita.” </em>(QS. An-Nisa`: 34)</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Dari Usamah bin Zaid radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: 130%;"><strong style="font-weight: bold;">مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فَتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Aku tidak meninggalkan satupun fitnah sepeninggalku yang lebih membahayakan para lelaki kecuali para wanita.”</em> (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: 130%;"><strong style="font-weight: bold;">إِنَّ
الدُّنْيا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْها
فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ. فَاتَّقُوا الدنيا وَاتَّقوا النِّساءَ,
فَإنَّ أَوَّلَ فِتْنَة بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّساءِ</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Sesungguhnya
dunia itu manis lagi hijau dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian
penguasa di atasnya lalu Dia memperhatikan apa yang kalian perbuat.
Karenanya takutlah kalian kepada (fitnah) dunia dan takutlah kalian dari
(fitnah) wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama (yang
menghancurkan) Bani Israil adalah dalam masalah wanita.”</em> (HR. Muslim no. 2742)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /><span id="more-3049"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong></strong>Allah Ta’ala berfirman: </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 130%;"><br /></span></div>
<div style="font-weight: bold; text-align: right;">
<span style="font-size: 130%;">زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga).” </em>(QS. Ali Imran: 14)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Ayat
di atas menjelaskan bahwa kecintaan kepada wanita adalah hal yang
fitrah dan bersifat alami. Karenanya bukan hal yang terlarang seorang
lelaki mencintai dan menyukai wanita selama kecintaannya adalah
kecintaan yang syar’i, diwujudkan dalam wujud yang syar’i, dan kecintaan
tersebut tidak mengganggu ibadahnya kepada Allah Ta’ala.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya
saja, tatkala realita kecintaan kepada wanita -sejak dahulu sampai
sekarang- menjadi salah satu sebab terbesar yang membahayakan agama
setiap lelaki, maka Allah dan Rasul-Nya memperingatkan akan fitnah yang
satu ini. Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa fitnah
wanita ini tidak hanya menimpa dan membahayakan umat ini, tapi sungguh
dia telah menghancurkan umat-umat terdahulu yang lebih kuat dibandingkan
mereka yaitu Bani Israil. Dan juga beliau shallallahu alaihi wasallam
mengabarkan bahwa dari semua fitnah yang membahayakan kaum lelaki
seperti harta, kekuasaan, dan wanita, yang paling menghancurkan dirinya
adalah wanita. Banyak orang yang bisa menjaga dirinya dari fitnah harta,
banyak juga orang yang tidak mau dengan kekuasaan, tapi sangat sedikit
sekali orang yang bisa menolak wanita, karenanya dia merupakan fitnah
yang terbesar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Karenanya
wajib atas setiap lelaki yang mempunyai wanita dalam tanggungannya,
baik istrinya atau anaknya atau saudarinya atau selainnya untuk menjaga
dan mengawasi tanggungannya tersebut. Jangan sampai mereka merusak
dirinya dan juga merusak orang lain. Karena mereka bisa menyebarkan
fitnah kemana-mana dan merusak masyarakat jika tidak dijaga dengan baik.
Berduaan dengannya adalah fitnah, bercambur baur dengan mereka adalah
fitnah, keluarnya dia dari rumahnya tanpa keperluan adalah fitnah,
menuruti semua yang mereka minta adalah fitnah, keluar dengan berdandan
adalah fitnah, dan selainnya. Karenanya hendaknya setiap lelaki bertakwa
kepada Allah atas amanah yang dibebankan kepada mereka.</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-84450886692833086202012-12-16T04:15:00.001-08:002012-12-16T04:15:13.696-08:00Menghindar Dari Fitnah Harta dan Anak <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSM4t-pNAeu9JaAs2B67IVgZNs-38tXmU0h5roTG8oNw9bgI0NSRtGBovgC-Wt4uFX4IVj19DJORZDspnskdKQCssAXK3QWiOyBryYfjnsAGLwI0JNmbYUbp7OD4J7hwKkWDNQS3VHoceK/s1600/anak-sedang-sholat.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="229" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSM4t-pNAeu9JaAs2B67IVgZNs-38tXmU0h5roTG8oNw9bgI0NSRtGBovgC-Wt4uFX4IVj19DJORZDspnskdKQCssAXK3QWiOyBryYfjnsAGLwI0JNmbYUbp7OD4J7hwKkWDNQS3VHoceK/s320/anak-sedang-sholat.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
sumber gambar: http://bestk43l.blogspot.com/2010/07/hartamu-dan-anak-anakmu-adalah-fitnah.html</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKn5xmnj4u_56UVB2D4xS6_pMhZaloxYLUzFDN4PGYzwoQA80iapbs-8c_7DErRQlcdBfWQ4dBlLuGVfmoS-vSC9Xitb5k-7Bx_KW4VJJHAQbKCIkiyzT3rHaaWYFz8dsVBWU8m5sszHyd/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKn5xmnj4u_56UVB2D4xS6_pMhZaloxYLUzFDN4PGYzwoQA80iapbs-8c_7DErRQlcdBfWQ4dBlLuGVfmoS-vSC9Xitb5k-7Bx_KW4VJJHAQbKCIkiyzT3rHaaWYFz8dsVBWU8m5sszHyd/s1600/images.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
sumber gambar: http://ridwanaz.com/islami/mewaspadai-fitnah-yang-dapat-ditimbulkan-dari-harta-kita/</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”
(Al-Munafiqun: 9)</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Penjelasan Mufradat Ayat</div>
<div style="text-align: justify;">
“Mengingat Allah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan makna dzikrullah dalam ayat
ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah seluruh amalan
wajib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Al-Hasan, dan dikuatkan oleh
Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir. Adh-Dhahhak dan ‘Atha` menerangkan:
“Yang dimaksud adalah shalat wajib.” Al-Kalbi berkata: “Yang dimaksud
adalah berjihad bersama Rasulullah n.” Ada lagi yang berpendapat:
“Al-Qur`an.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Yang shahih bahwa dzikrullah dalam ayat ini bersifat umum, mencakup
semua yang mereka sebutkan, sebagaimana dikatakan Al-Alusi dalam
tafsirnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penjelasan Makna Ayat</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika menerangkan ayat ini, Al-Allamah As-Sa’di t mengatakan:</div>
<div style="text-align: justify;">
“(Allah) k memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk
memperbanyak berdzikir kepada-Nya, karena hal itu akan mendatangkan
keberuntungan, kemenangan, dan kebaikan yang banyak. Allah l juga
melarang mereka tersibukkan dengan harta dan anak-anak mereka dari
berdzikir kepada-Nya. Karena mencintai harta dan anak-anak adalah
sesuatu yang menjadi tabiat kebanyakan jiwa, sehingga akan menyebabkan
lebih dia utamakan daripada kecintaan kepada Allah l. Dan hal itu akan
mendatangkan kerugian yang besar. Oleh karenanya, Allah l berfirman
‘Barangsiapa yang melakukan itu’, yaitu harta dan anak melalaikannya
dari berdzikir kepada Allah l, ‘maka mereka itulah orang-orang yang
merugi’ dari mendapatkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang
kekal, karena mereka lebih mengutamakan kehidupan yang fana daripada
kehidupan yang kekal. Allah l berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di
sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15) [Taisir Al-Karim
Ar-Rahman]</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Alusi berkata: “Janganlah karena mementingkan pengurusan
(anak-anak dan harta) dan memerhatikan kemaslahatannya serta
bersenang-senang dengannya, menyebabkan kalian tersibukkan dari
berdzikir kepada Allah k berupa shalat dan ibadah-ibadah lainnya, yang
akan mengingatkan kalian kepada sesembahan yang haq l.” (Tafsir
Al-Alusi)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaukani t menyebutkan bahwa harta dan anak-anak yang melalaikan
dari berdzikir kepada Allah l merupakan salah satu akhlak kaum
munafiqin. (Fathul Qadir)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anak dan Harta Sebagai Perhiasan Dunia</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayat Allah k ini menjelaskan bahwa anak dan harta merupakan sebuah
kesenangan dan perhiasan yang melengkapi kehidupan seseorang di dunia.
Dengannya, dia merasakan kebahagiaan dan ketentraman dalam hidupnya. Di
dalam ayat lain Allah k berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga). Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu
apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang
bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka
dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ali ‘Imran: 14-15)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun demikian, kebahagiaan dengan mendapatkan karunia berupa harta dan anak tidaklah sempurna, jika tidak dibarengi <a href="http://asysyariah.com/iman.html" title="iman">iman</a>
dan amal shalih yang akan menunjang kehidupan dan kebahagiaan dunia
serta akhiratnya. Oleh karenanya, bagi seorang mukmin, kehidupan akhirat
jauh lebih penting dan lebih utama daripada kehidupan dunia. Sehingga
kesenangan yang dia rasakan di dunia tidak akan menjadi penyebab
kelalaiannya untuk mengejar kehidupan yang lebih kekal dan kebahagiaan
yang bersifat abadi di akhirat. Allah k berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syinqithi t menerangkan: “Yang dimaksud ayat yang mulia ini
adalah peringatan kepada manusia agar senantiasa beramal shalih, agar
mereka tidak tersibukkan dengan perhiasan kehidupan dunia berupa harta
dan anak-anak, dari sesuatu yang memberi manfaat kepada mereka di
akhirat di sisi Allah l berupa amalan-amalan yang shalih.” (Adhwa`ul
Bayan, 4/80, cetakan Darul Hadits, Kairo)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sehingga pada hakikatnya, di balik kesenangan dan kebahagiaan
mendapatkan harta dan anak, keduanya merupakan ujian yang apabila
seorang hamba tidak memanfaatkannya dengan baik maka dapat menyebabkan
kebinasaan dan kehancuran kehidupan dunia serta akhiratnya. Allah k
berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Juga firman-Nya:</div>
<div style="text-align: justify;">
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.”
(Asy-Syu’ara`: 88-89)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian pula Rasulullah n. Beliau n senantiasa memperingatkan
umatnya dari bahaya fitnah (cobaan) harta dan anak. Di antaranya adalah
yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Ka’b bin ‘Iyadh z bahwa Rasulullah n
bersabda:</div>
<div style="text-align: justify;">
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ</div>
<div style="text-align: justify;">
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai ujian, dan ujian bagi umatku
adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336, dishahihkan oleh Al-Albani t
dalam Shahihul Jami’ no. 2148)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian pula tentang anak, Rasulullah n bersabda:</div>
<div style="text-align: justify;">
إِنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ</div>
<div style="text-align: justify;">
“Sesungguhnya anak itu penyebab kekikiran dan ketakutan.” (HR. lbnu Majah no. 3666, <a href="http://asysyariah.com/al-hakim.html" title="Al-Hakim">Al-Hakim</a>
dalam Mustadrak, 3/179, Al-Baihaqi, 10/202, Ibnu Abi Syaibah 6/378,
Ath-Thabarani, 3/32, dishahihkan Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Munawi berkata menjelaskan hadits ini: “Yaitu membawa kedua
orangtuanya untuk berbuat bakhil dan mendorongnya untuk bersifat
demikian sehingga dia menjadi kikir harta karenanya, serta meninggalkan
jihad karenanya.” Al-Mawardi berkata: “Hadits ini mengabarkan bahwa
hendaknya seseorang berhati-hati terhadap anak, yang dapat menyebabkan
munculnya sifat-sifat ini. Juga akan memunculkan akhlak yang demikian.
Ada sebagian kaum yang membenci untuk meminta dikaruniai anak karena
khawatir keadaan yang tidak mampu dia tolak dari dirinya, sebab
menetapnya hal ini (pada diri manusia) secara alami dan mesti terjadi.”
(Faidhul Qadir, 2/403)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Masing-masing Ada Saatnya</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam Shahih Muslim (no. 2750), dari sahabat Hanzhalah Al-Usayyidi z
–salah seorang juru tulis Rasulullah n– dia berkata: Abu Bakr z
menemuiku lalu bertanya: “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?”</div>
<div style="text-align: justify;">
Beliau berkata: Aku menjawab: “Hanzhalah telah munafik!”</div>
<div style="text-align: justify;">
Abu Bakr berkata: “Subhanallah, apa yang engkau katakan?”</div>
<div style="text-align: justify;">
Aku berkata: “Tatkala kami berada di samping Rasulullah n, beliau
mengingatkan kami tentang neraka dan surga, sehingga seakan-akan kami
melihatnya dengan mata kepala. Namun di saat kami keluar dari sisi
Rasulullah n, kami menyibukkan diri bersama istri, anak-anak dan
kehidupan, sehingga kami banyak lupa.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Abu Bakr z pun berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”</div>
<div style="text-align: justify;">
Akupun berangkat bersama Abu Bakr z hingga kami masuk ke tempat
Rasulullah n. Aku berkata: “Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Maka Rasulullah n bertanya: “Ada apa?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, kami berada di sisimu, engkau
mengingatkan kami dengan neraka dan surga sehingga seakan-akan kami
melihatnya dengan mata kepala. Namun jika kami keluar dari sisimu maka
kamipun sibuk bersama istri, anak-anak, dan kehidupan sehingga kami
banyak lupa.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Maka Rasulullah n bersabda:</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ
عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ
وَفِي طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً -ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ</div>
<div style="text-align: justify;">
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya kalian
terus-menerus (memiliki keimanan) seperti di saat kalian berada di
sisiku dan selalu berdzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian
di atas tempat-tempat tidur dan di jalan-jalan (yang kalian lalui).
Namun wahai Hanzhalah, masing-masing ada saatnya.” Beliau mengucapkannya
tiga kali.</div>
<div style="text-align: justify;">
‘Ali Al-Qari berkata tatkala menjelaskan hadits ini: “Kesimpulan
maknanya adalah: Wahai Hanzhalah, terus-menerus dalam keadaan yang
disebutkan adalah satu kesulitan yang tidak seorang pun mampu
melakukannya, sehingga Allah l tidaklah membebani demikian. Namun yang
sanggup dilakukan oleh kebanyakan adalah seseorang mempunyai waktu
berada dalam keadaan seperti ini. Tidak ada dosa baginya menyibukkan
dirinya untuk bersenang-senang dengan apa yang disebutkan di waktu yang
lain. Engkau dalam keadaan tetap berada di atas jalan yang lurus. Tidak
terdapat kemunafikan pada dirimu sama sekali seperti yang engkau sangka.
Maka berhentilah dari keyakinanmu itu, karena sesungguhnya itu termasuk
celah bagi setan untuk masuk kepada para ahli ibadah, yang akan
mengubah mereka dari apa yang telah mereka amalkan. Sehingga mereka akan
terus berusaha mengubahnya hingga mereka meninggalkan amalan tersebut.”
(Mirqatul Mafatih, 5/150)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits ini menunjukkan bahwa bukanlah satu hal yang tercela jika
seseorang menyempatkan dirinya untuk bersenda gurau bersama istri dan
anak-anaknya. Juga menyibukkan diri dengan usahanya dalam mencari
nafkah. Asalkan perkara tersebut diberi porsi yang sesuai, tidak
menyebabkannya lalai dari beribadah kepada Allah l. Jangan pula
sebaliknya, karena istri yang dapat menjadi penyebab fitnah, justru
dijadikan alasan untuk tidak menikah. Atau anak dijadikan alasan
penyebab fitnah, sehingga dia menelantarkan mereka dan tidak
menyempatkan waktu bersamanya. Atau harta yang dapat menjadi penyebab
fitnah sehingga meninggalkan mencari nafkah dan tidak menafkahi
orang-orang yang wajib dia nafkahi. Namun semestinya semua itu
ditempatkan sesuai kedudukannya, sehingga bernilai ibadah di sisi Allah
l.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam sebuah hadits dari jalan ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya,
dia berkata: Ketika Nabi n mempersaudarakan antara Salman dan Abud
Darda`, Salman datang mengunjungi kepada Abud Darda`. Beliau melihat
Ummud Darda` dalam keadaan lusuh. Beliau bertanya kepadanya: “Ada apa
denganmu?” Ia menjawab: “Saudaramu Abud Darda` tidak punya kebutuhan
terhadap dunia.” Lalu datanglah Abud Darda` dan membuatkan makanan
untuknya. Abud Darda` lalu berkata: “Makanlah, karena sesungguhnya aku
berpuasa.” Salman berkata: “Saya tidak akan makan hingga engkau makan.”
“Maka diapun makan bersama Salman. Tatkala di malam hari Abud Darda`
bangkit (untuk shalat), maka Salman berkata: “Tidurlah.” Lalu dia
bangkit, lagi maka Salman berkata: “Tidurlah.” Sehingga tatkala di akhir
malam Salman berkata: “Bangunlah sekarang.” Lalu keduanya pun shalat.
Lalu Salman berkata kepadanya: “Sesungguhnya atas diri ada hak untuk
Rabb-mu, ada hak untuk dirimu, dan ada pula hak untuk keluargamu.
Berikanlah hak tersebut kepada setiap yang memiliki haknya.” Lalu Abud
Darda` datang kepada Nabi n dan mengabarkan hal tersebut kepada beliau,
maka Nabi n bersabda: “Telah benar Salman.” (HR. Al-Bukhari, no. 1867)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Buraidah z, ia berkata: “Suatu
ketika Rasulullah n berkhutbah di hadapan kami. Tiba-tiba datang Hasan
dan Husain c yang keduanya sedang memakai gamis berwarna merah dan
keduanya terjatuh. Maka Rasulullah n turun dari mimbarnya dan
menggendong keduanya, lalu meletakkan keduanya di hadapannya. Lalu
beliau berkata: “Maha benar Allah k ketika berfirman: ‘Sesungguhnya
harta-harta dan anak-anak kalian adalah fitnah (ujian)’. Aku melihat dua
anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak bersabar, sehingga
aku memutus khutbahku dan menggendong keduanya.” Kemudian beliau
melanjutkan khutbahnya. (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, Ahmad, Ibnu
Hibban dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian pula yang diriwayatkan dari Al-Bara` bin ‘Azib z, dia
berkata: “Aku melihat Nabi n dan Hasan bin ‘Ali c berada di atas
pundaknya, lalu beliau bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku
mencintainya maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3749 dan Muslim
no. 2422)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maka, rasa cinta kepada seorang anak dan harta, seharusnya membawa
dampak yang positif, yang semakin mendekatkan seorang hamba kepada
Rabb-nya. Dengan cara menginfakkannya di jalan Allah l jika itu berupa
harta. Adapun anak adalah dengan mendidiknya dan membiasakannya untuk
taat kepada Allah k semenjak kecil.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semoga Allah l senantiasa membimbing kita dan keluarga kita agar senantiasa menjadi hamba yang <a href="http://asysyariah.com/ikhlas.html" title="ikhlas">ikhlas</a>,
bersabar dan istiqamah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan
menjauhkan kita dari fitnah serta penyebab jauhnya hamba dari beribadah
kepada-Nya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan:
74)</div>
<div style="text-align: justify;">
Wallahu a’lam.</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-37165155695584322822012-04-28T09:43:00.000-07:002012-04-28T09:43:13.145-07:00AGAR PESAN SAMPAI KE HATI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img height="300" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtWAgG57AWCCdo_gqxOfE2hmT56gCki83YVFOndCebEOSP6zftfa8SP05Wim_3DT8_fnmpUUdSZkfYXCULxpDkXv9oozk0BJew1f2449pQ4MNyntLDA-m5gAF5k1DA0qWB-kOUlzOJhoUa/s400/Paint_Your_Love.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="400" /><span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;"> </span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Gambar Ilustrasi</span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Sumber Gambar: http://bonding-sisters.blogspot.com/2009/09/agar-pesan-sampa-ke-hati.html </span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Oleh : Asfuri Bahri, LC.</span><br /><span style="font-weight: bold;">Sumber : Dakwatuna</span></span><br /><br /><span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">S</span></span>eorang
pasien penderita penyakit kanker terbaring di atas tempat tidur di
sebuah rumah sakit yang entah rumah sakit ke berapa yang pernah
disinggahinya. Dan kali ini pun hasil yang didapat tidak jauh berbeda
dengan perawatan sebelumnya. Bahkan dokter yang menanganinya sempat
menghampirinya. Sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata kepada si
pasien, bahwa seluruh upaya medis telah ditempuh. Karena kondisi
penyakit yang sangat kritis, agaknya harapan untuk sembuh sangat tipis.</div>
<a name='more'></a>Bisa
dibayangkan bagaimana reaksi pasien tersebut. Sedih, gelisah, depresi,
tidak ada lagi gairah dan upaya. Berbeda halnya jika si dokter yang
merawatnya itu mengatakan hal lain, kondisinya memang sangat parah,
namun, menurutnya, masih ada harapan untuk sembuh. Tentu si pasien
sangat bergembira mendengarnya. Kata-kata dokter itu akan mempengaruhi
semangatnya untuk sembuh.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Kata-kata
mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bahkan terkadang ia lebih ampuh
daripada senjata. Dalam hal ini pepatah lama masih relevan, bahwa lidah
lebih tajam daripada pedang. Betapa sering sebuah perang berkobar
disebabkan oleh kata. Demikian pula sebaliknya, perang dapat dihentikan
oleh sebuah diplomasi atau secarik kertas perjanjian damai. Seorang
penulis wanita Jerman, Annemarie Schimmel, berbicara tentang kekuatan
kata. “Kata yang baik laksana pohon yang baik. Kata diyakini sebagai
suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang
mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan
yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau
terbunuh oleh kata-kata.”<br /><br />Karena kata-kata seseorang bisa
bergairah, bersemangat, terhibur dari duka, seorang pasien akan
mempunyai harapan sembuh oleh kata-kata dokter. Yang terkadang kondisi
sesungguhnya berlawanan dengan kata-kata itu, sekadar untuk menerbitkan
semangat. Juga karena kata-kata, hati yang tadinya cerah berbunga-bunga
menjadi redup sedih. Tadinya optimis menjadi pesimis. Bersemangat
menjadi patah arang.<br /><br />Kata-kata sebagai alat yang ampuh untuk
berbagai kepentingan orang. Melobi, mempengaruhi, merayu, menghina,
melecehkan, membalaskan sakit hati. Dan kata orang, ia adalah senjata
bermata dua. Jika kata-kata itu keluar dari orang baik dan suka
melakukan perbaikan, maka dampak yang ditimbulkannya akan positif. Namun
jika ia diungkapkan oleh orang jahat dan mencintai tersebarnya
kejahatan di muka bumi ini, dampak yang ditimbulkannya tentu kejahatan
itu sendiri sebagai produk hatinya yang jahat itu.<br /><br />Seorang dai
dengan tugas dakwahnya mengajak orang kepada Allah dalam taat dan ibadah
kepada-Nya. Aktivitas dakwahnya sangat didominasi oleh penyampaian
kata-kata. Sebab sasaran yang hendak dituju adalah akal manusia itu
sendiri. Jika tujuan dakwah adalah melakukan perubahan (taghyir), maka
faktor utama yang dapat mempengaruhi proses perubahan adalah akal
pikiran. Dengan adanya perubahan pada tataran pemahaman dan pola pikir,
maka perubahan persepsi dan tingkah laku bisa terjadi.<br /><br />Penyampaian
kata-kata bahkan menjadi titik tekan tugas para nabi dan rasul. Seperti
yang Allah tegaskan kepada Rasulullah saw. Allah berfirman, <span style="font-style: italic;">“Jika
mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi
mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).”</span> (As-Syura: 48)<br /><br />Sebagai
penerus tugas para nabi dan rasul, seorang dai berdakwah menyampaikan
risalah kepada manusia. Hendaknya ia selalu meningkatkan kemampuan dan
kreativitasnya dalam memasarkan risalah ini kepada manusia. Berbagai
kajian dan petunjuk tentang kata-kata dan ceramah yang berkesan telah
banyak ditulis para ulama. Namun muaranya tidak jauh berputar pada
beberapa poin berikut ini:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Kuatnya Hubungan dengan Allah</span><br /><br />Hubungan
yang menguatkannya, yang menjadi rujukan, tempat menyandarkan diri,
kepada-Nya ia mengadu, berdoa, dan berbagi. Seorang dai mengajak orang
lain menuju Allah. Bagaimana mungkin ia dapat mengajak kepada sesuatu
jika ia sendiri jauh dengannya dan lemah hubungannya dengan sesuatu itu.
Syeikh Muhammad Ghazali menyebutkan sifat ini sebagai pilar utama
seorang dai, yang tidak boleh diabaikan. Sebab jika setiap muslim
berkewajiban membina hubungan baik dengan Allah, apatah lagi seorang
dai.<br /><br />Sejarah telah menjadi saksi bahwa tidak ada seorang nabi pun
atau pelaku perbaikan kecuali ia mempunyai hubungan yang kuat dengan
Allah. Jalinan mereka dengan Allah sangat kuat, hidup, dan selalu segar.
Tidak pernah putus barang sekejap pun dan tidak pernah layu. Terlihat
dalam aktivitas kesehariannya, saat bersama orang lain terlebih saat
sendiri. Syeikh Abdurrahman As-Sa’ati, ayah Imam Syahid Hasan Al-Banna
mengisahkan kegiatan anaknya ketika berada di rumah,<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Di
antara akhlaqnya adalah berpaling dari banyak orang dan hanya
menyendiri bersama Rabbnya, tidak ada yang tahu selain keluarga dekatnya
saja. Di rumahnya –Allah yang menjadi saksi- tidak pernah lepas dari
mushaf, tidak berhenti membaca, tidak pernah lalai dari zikir, ia
membaca Al-Qur’an memperdengarkan bacaannya kepada salah seorang hafizh
di antara kami. Jika tidak ada seorang hafizh kecuali anak kecil, ia pun
muraja’ah hafalannya dengan anak itu. Rumahnya penuh dengan bacaan
Al-Qur’an, sujud, larut dalam dzikir, dan mendaki ke ketinggian langit
spiritual. Ketika ia tahu cara Nabi membaca Al-Qur’an maka ia
praktekkan, termasuk waqaf-waqaf di mana Rasulullah berhenti, ia pun
berhenti. Terkadang badannya gemetaran, hatinya penuh ketakutan, gelisah
pada ayat-ayat ancaman, terhadap ayat-ayat gembira ia berbinar-binar,
jauh dari suasana di mana ia hidup, jauh terbawa makna ayat-ayat itu.”</span><br /><br />Dan semua orang yang pernah mendengar pidatonya mengakui, betapa Imam Syahid mempunyai kata-kata yang sangat kuat. <span style="font-style: italic;">“Jika ia berpidato, kata-katanya mengalir seolah-olah turun dari langit.” </span>Kata seseorang yang pernah menghadiri ceramahnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Selalu Memperbaiki Diri</span><br /><br />Setiap
muslim wajib memperbaiki diri dari segala kekurangan. Apalagi seorang
dai. Boleh jadi ini merupakan hasil dari hubungan yang baik dengan
Allah. Sebab siapa yang mengingat Allah ia akan teringat akan semua dosa
dan kekurangan dirinya serta menyadari semua aib pribadinya. Berbeda
halnya dengan orang yang lalai dari zikir. Ia pun akan lalai kepada
Allah bahkan lalai kepada dirinya sendiri. Ia berjalan tanpa arah dan
petunjuk. Allah berfirman,<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Dan
janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang
yang fasik.”</span> (Al-Hasyr:19)<br /><br />Sangat berbahaya jika seorang
dai mengajak orang melakukan sesuatu sementara dirinya sendiri jauh
darinya. Atau mencegah orang dari melakukan sesuatu ia sendiri belum
bisa terlepas darinya. Jika demikian, maka seruan dakwah yang
dikumandangkannya tak nyaring lagi. Seseorang berkata, <span style="font-style: italic;">“Kalau saya melihat seorang dai merokok, kepercayaan saya kepadanya berkurang dua puluh lima persen.”</span><br /><br />Bahkan, tidak hanya ajakannya yang diabaikan orang, ia bisa mendapatkan murka dari Allah.<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”</span> (As-Shaff:3)<br /><br />Tentu
saja hal ini tidak dipahami secara tidak konstruktif, dengan
menyibukkan diri sendiri serta tidak peduli kepada perbaikan sekitarnya.
Aslih nafsaka wad’u ghairaka (perbaiki dirimu dan ajaklah orang lain),
begitu kata orang.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Kecerdasan Akal, Kebersihan Hati, dan Pemahaman yang Dalam tentang Islam</span><br /><br />Sifat
ini hendaknya menjadi watak seorang dai. Yang dengan demikian ia bisa
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Menimbang persoalan dengan
timbangan yang benar dan tidak memihak. Dalam bahasa dakwah hal ini bisa
disebut sebagai hikmah. Seperti yang Allah firmankan,<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Allah
menganugerahkan Al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan
As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang
banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).”</span> (Al-Baqarah:269)<br /><br />Menurut
Muhammad Al-Ghazali, kecerdasan yang dimaksud, seseorang tidak perlu
menjadi jenius. Namun hanya dengan memiliki kemampuan melihat suatu
permasalahan apa adanya. Tidak menambah maupun mengurangi. Dengan cara
pandang seperti ini seorang dari dapat mendiagnosa sebuah persoalan
dengan baik dan pada gilirannya bisa memberikan terapi yang tepat sesuai
dengan permasalahan yang dihadapinya. Kata-kata yang disampaikannya
menjadi tepat sasaran.<br /><br />Dengan kemampuan seperti inilah Rasulullah
terlihat menyampaikan nasihat yang berbeda-beda, melihat kondisi dan
latar belakang psikologis seseorang yang konsultasi kepada beliau. Suatu
saat beliau hanya mengatakan, <span style="font-style: italic;">“Janganlah kamu marah.” </span>Dan
Jariyah bin Qudamah, orang yang bertanya itu pun puas dengan jawaban
beliau. Bahkan menurut riwayat Thabrani, pahalanya surga, seperti yang
beliau sabdakan, <span style="font-style: italic;">“Janganlah kamu marah, maka akan mendapat surga.”</span> Suatu saat beliau hanya mengatakan, <span style="font-style: italic;">“Katakan, aku beriman kepada Allah. Lalu istiqamahlah.”</span><br /><br />Kebersihan
hati yang dimaksud tentu bukannya kebersihan hati yang setaraf dengan
para malaikat. Cukuplah bagi seorang dai memiliki hati yang penuh cinta
kepada manusia, cemburu kepada mereka, lembut dan tidak kasar
memperlakukan mereka. Ia senang dengan kebaikan mereka dan bukannya
senang melihat kesengsaraan mereka. Di hadapannya maupun tidak sikapnya
selalu sama. Senantiasa berharap atas kebaikannya. Sehingga antara
hatinya dan hati mereka terhadap tali yang menghubungkan. Ketulusan
cintanya melahirkan getar saat tangannya berjabat, mulutnya berucap, dan
matanya menatap. Doa yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan mereka
membuat nama-nama mereka selalu hadir dalam hidupnya. Sehingga ketika
bertemu, pertemuan itu pun terasa hangat dirasakan oleh mereka.<br /><br />Kejelasan
pemahaman dimiliki karena penguasaannya terhadap konsep universalitas
Islam. Hal ini membuatnya mampu mengidentifikasi setiap persoalan. Ia
dapat membedakan mana yang bisa dikategorikan sebagai persoalan aqidah
dan mana yang bukan. Dengan hal ini pula seorang dai dapat berinteraksi
dengan semua lapisan masyarakat dan dapat melihat kekurangan serta
kelebihan mereka. Ia juga memiliki skala prioritas dalam dakwahnya.<br /><br />Dalam
menyikapi berbagai perpecahan madzhab dan aliran di Mesir, Hasan
Al-Banna dengan Ikhwannya mempunyai sikap yang jelas. “Karena Ikhwan
meyakini bahwa perbedaan dalam hal-hal furu’ adalah sebuah keniscayaan.
Harus terjadi. Sebab prinsip-prinsip Islam yang berupa ayat-ayat,
hadits, amal Nabi bisa dipahami secara berbeda. Oleh karenanya perbedaan
semacam ini juga terjadi di kalangan para sahabat. Dan perbedaan itu
terus terjadi sampai hari Kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ra saat
ia berkata kepada Abu Ja’far yang ingin memaksa orang mengikuti buku
Al-Muwattha’, “Para sahabat Rasulullah berpencar di negeri-negeri.
Masing-masing kaum mempunyai ilmu. Jika Anda memaksa mereka kepada satu
ilmu, akan terjadi fitnah.” Tidak ada salahnya dengan perbedaan, namun
yang salah adalah sikap fanatik terhadap pendapat tertentu dan menutup
diri dari pendapat orang lain. Cara pandang semacam ini dapat menyatukan
hati yang bersengketa ke dalam kesatuan fikrah. Cukuplah orang-orang
bersatu menjadi muslim sebagaimana yang dikatakan Zaid r.a. Pandangan
seperti ini sangat penting dimiliki sebuah jamaah yang ingin menyebarkan
fikrah pada suatu negeri di mana yang dilanda sebuah konflik tentang
masalah yang tidak semestinya diperdebatkan.”<br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Keikhlasan</span><br /><br />Keikhlasan
merupakan tuntutan yang harus dipenuhi setiap muslim dalam ibadahnya
kepada Allah. Sebab ia sebagai syarat diterimanya ibadah. Ibnu
Atha’illah berkata, <span style="font-style: italic;">“Amal perbuatan merupkan tubuh yang tegak. Sedangkan ruhnya adalah adanya rahasia di balik amal yang berupa keikhlasan.” </span>Terlebih
lagi bagi seorang dai dan aktivis. Aktivitas dakwahnya adalah
sebaik-baik amal dan sarana taqarrub kepada Allah, tentu keikhlasan
menjadi lebih urgen lagi. Seorang dai hendaknya menjauhkan kepentingan
pribadi yang berupa sebutan, imbalan, dan pengaruh pribadi karena
aktivitas dakwahnya.<br /><br />Keikhlasan tentu saja ada buahnya. Aktivitas
dakwah yang dilandasi dengan keikhlasan tentu berbeda hasilnya dengan
yang dilakukan karena pamrih. Bersamaan dengan kata-kata yang diucapkan,
interaksi yang dilakukan, dan kegiatan yang dilaksanakan seorang dai
selalu menambatkan hatinya kepada Dzat yang menguasai dan
membolak-balikkan hati. Kata orang Arab, <span style="font-style: italic;">“Kata-kata yang keluar dari hati akan sampai kepada hati pula.”</span><br /><br />Rasulullah bersabda, <span style="font-style: italic;">“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima selain kebaikan.”</span>
Bagi seorang dari, kebaikan yang hendak dipersembahkan kepada Allah
adalah keyakinannya terhadap keutamaan dakwahnya dan harapannya yang
ditambatkan kepada ridha Allah semata.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">5. Keluasan Wawasan</span><br /><br />Dakwah
di zaman modern sekarang ini harus didukung oleh keluasan wawasan.
Karena seorang dai bertugas mengarahkan dan membimbing manusia dengan
segala strata sosial dan intelektual mereka. Ia berbicara dengan dokter,
pasien, guru, pegawai, kuli, insinyur, pedagang, orang pintar, dan
orang bodoh. Mestinya ada penguasaan wawasan yang dapat memasuki pola
pikir mereka semua.<br /><br />Tidak harus menguasai semua disiplin ilmu
secara mendalam, namun wawasan global tentang berbagai persoalan
hendaknya dipahami. Kecuali wawasan keislaman yang secara asasi harus
dikuasai. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah serta wawasan
keislaman lain; budaya Islam, sejarah Islam, dan lain-lain. Oleh karena
itulah Imam Syahid Hasan Al-Banna memberikan tekanan khusus kepada sisi
ini dan itu sebagai salah satu karakter dakwahnya. Bahwa dakwah Ikhwan
juga bercirikan Jamaah Ilmiyah Tsaqafiyah (organisasi ilmu pengetahuan
dan wawasan). Dan semua sarana yang dimilikinya pada dasarnya untuk
membina intelektual, hati, dan jasad para anggotanya.<br /><br />Keluasan
wawasan yang dimiliki seorang dai membuatnya mampu menemukan ‘pembuka
hati’ bagi orang-orang yang menjadi objek dakwahnya. Ketika berkomentar
tentang wawasan Abu Bakar yang paling tahu tentang nasab suku Quraisy
dan paling tahu tentang apa yang baik dab buruk mereka, Munir Muhammad
Al-Ghadhban berkata, <span style="font-style: italic;">“Pengetahuan
tidak kalah penting daripada akhlaq. Yang dituntut dalam masalah ini
bukan segala macam pengetahuan. Tetapi pengetahuan mengenai masyarakat
dan kecenderungan-kecenderungannya. Pengetahuan yang menjelaskan
karakteristik jiwa manusia. Pengetahuan inilah yang akan memberikan daya
gerak kepada dai yang merupakan pintu masuk ka hati mad’u. Setiap hati
memiliki ‘kunci’, dan tugas seorang dai adalah untuk mendapatkan kunci
itu agar ia bisa memasuki hatinya lalu hati itu menyambutnya.”</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">6. Menguasai Metodologi Komunikasi</span><br /><br />Sebab
ada pepatah Arab mengatakan, likulli maqam maqal (bagi masing-masing
momen ada ungkapannya). Dan masing-masing orang memiliki kecenderungan
terhadap satu bentuk komunikasi tertentu. Ada yang suka dengan gaya
bicara yang berapi-api. Ada yang tertarik dengan ceramah yang banyak
‘lawak’nya. Ada pula yang tidak suka terhadap hal-hal yang monoton dan
serius dan ia lebih suka kalau ceramah banyak diselingi ilustrasi.
Kemampuan memilih model komunkasi yang tepat akan menjadi daya tarik
yang dapat menggait hati. Rasulullah saw bersabda, <span style="font-style: italic;">“Sesungguhnya kejelasan (komunikasi) adalah sihir.”</span><br /><br />Al-Bahi
Khauli merekomendasikan kepada seorang dai agar menggunakan beberapa
metodologi dalam aktivitas dakwah yang dilakukannya. Di antaranya
adalah:<br /><br />1. Kisah: karena dengan kisah sesuatu yang bersifat
normatif bisa lebih mudah dipahami. Karena nilai-nilai itu berubah
menjadi kaki yang berjalan, tangan yang bergerak, dan mulut yang
berucap. Barangkali inilah di antara rahasia Al-Qur’an yang menggunakan
metode kisah sebagai salah satu sarananya. Agar Islam dapat dipahami
sebagai agama yang realistis dan tidak hanya bersifat kelangitan tanpa
bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Terbukti para pelaku sejarah itu
mampu melakukannya. Di samping ia juga menjadi pelajaran bagi
orang-orang beriman.<br /><br />2. Perumpamaan: karena dengan perumpamaan
dapat mendekatkan yang jauh dan menjelaskan yang buram, juga menentukan
kadar sesuatu yang abstrak. Al-Qur’an dan hadits sendiri seringkali
menggunakan perumpamaan sebagai sarana menjelaskan kepada kaum Muslimin
tentang ajaran Islam. Tentang hakikat amal perbuatan orang-orang kafir
Allah berfirman, <span style="font-style: italic;">”Dan orang-orang yang
kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar,
yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya
(ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya.”</span> (An-Nur:39)<br /><br />3. Perbandingan: dan
tujuannya adalah untuk menjelaskan kadar keterpautan sebuah nilai. Dalam
salah satu sabdanya Rasulullah bersabda, “Shalat berjamaah lebih mulia
daripada shalat sendiri dengan selisih dua puluh tujuh derajat.” Juga
sabda beliau, “Perbandingan antara orang berilmu dan yang tidak berilmu
seperti perbandinganku dengan sahabatku yang paling rendah
(pengetahuannya.”<br /><br /><span style="font-weight: bold;">6. Berdoa</span><br /><br />Setelah
seluruh upaya dan sarana dikerahkan untuk menggait orang menuju Allah
dalam aktivitas dakwah, seorang dai tidak boleh menyandarkan hasil
kepada kemampuan dan upayanya. Upaya itu harus dikembalikan kepada Allah
yang menguasai hati dan pikiran. Ini akan menjaganya dari sikap ghurur
apabila dakwahnya mendapatkan kemenangan dan menjauhkannya dari berputus
asa jika menemui kegagalan. Sebab ia yakin, seberapa hebat sarana yang
dikuasainya, ia hanyalah senjata bisa mengenai sasaran dan bisa tidak.
Doa juga dapat menutupi segala kekurangan dan kelemahannya. Sebab tidak
ada orang yang memiliki semua dan menguasai segalanya secara ideal.
Adakalanya seseorang memiliki kelebihan pada satu sisi, namun ia juga
memiliki kekurangan pada sisi lain. Dan berdoa adalah ibadah. Adalah
senjata seorang mukmin di saat senjata lain tidak mempan. Ketajaman doa
dapat menembus sesuatu yang tidak bisa ditembus senjata biasa.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">7. Selanjutnya, Hidayah dari Allah</span><br /><br />Karena
dai hanya menyeru dan menggerakkan potensi yang diberikan Allah.
Selanjutnya hasilnya dikembalikan kepada Allah. Sebuah kegagalan, selain
harus disikapi secara proporsional dengan melakukan evaluasi aktivitas
dakwah dan motivasi amal da’awi, tentu harus dikembalikan kepada
kehendak Allah yang berhak memberi hidayah atau tidak memberi. Dan tentu
saja tidak berhenti di situ. Optimisme harus selalu ditanamkan dalam
diri seberat apapun medan dakwah yang dilalui. Sebab perjalanan belum
berakhir. Hidup manusia tidak berhenti sampai di sini. Masih ada harapan
untuk berubah dan kembali ke jalan yang benar.<br /><br />Dengan pemahaman
inilah kita tidak pernah menganggap Nabi Nuh gagal dalam dakwahnya. Luth
gagal. Shalih gagal. Sebab semua sarana dan prasarana telah dikerahkan
untuk mengetuk pintu hati mereka. Rasulullah juga tidak pernah gagal
ketika berambisi agar paman tercinta Abu Thalib mendapatkan hidayah.
Karena<span style="font-style: italic;"> “Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”</span> (Al-Qashash:56)<br /><br />Kegagalan
adalah jika si dai itu sendiri terhapus pahala aktivitas dakwahnya
karena dosanya atau is sendiri terpental dari aktivitas dakwah, melempar
handuk untuk meninggalkan kancah pertarungan. Lalu ia hanya duduk-duduk
bersama ‘qa’idin’. Semoga Allah mengokohkan kaki kita dengan
kata-kata-Nya yang tetap. Wallahu A’lam.</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-45315464293374208102012-04-26T07:43:00.000-07:002012-04-26T07:43:19.929-07:00BENCANA : AZAB ATAU UJIAN?<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img height="319" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5Z3W5IPoLA_4A693gZxiyxuE7WBD-9pGu0uvK4g84AL70FMVhYRMiGTKoQ4I5GfLfuLgq84v0dlOhvFY9pyJbG1fuPL_WBql506ROZjo2Zot0DO8z9G0MMLSeO2U-YHnYi3S0qSHB6g/s1600/sesungguh+Rabb+maha+Luas+ampunannya.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="452" /></div>
<div style="text-align: center;">
Gambar Ilustrasi</div>
<div style="text-align: center;">
Sumber: http://eviandrianimosy.blogspot.com/2010/11/bencana-dan-ujian.html</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, <span style="font-style: italic;">“Tidaklah
suatu kaum yang melakukan dengan terang-terangan berupa riba dan zina,
melainkan halal bagi Allah untuk menimpakan azabnya kepada mereka.”</span> (HR. Ahmad)</div>
<a name='more'></a>Cobaan
dan ujian adalah sunnatullah yang Allah ‘berlakukan’ terhadap
hamba-hamba-Nya di muka bumi. Ada beberapa gambaran mengenai hal ini
dari Alquran dan hadits. Setidaknya seperti berikut.<br /><br /><br />1. Cobaan dan ujian adalah sarana untuk mengungkap keimanan seseorang; apakah ia benar-benar beriman atau tidak.<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Alif
laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” </span>(Al-Ankabut: 1-3)<br /><br />2. Cobaan dan ujian merupakan hakikat dari kehidupan manusia di dunia.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Maha
Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa
lagi Maha Pengampun. </span>(Al-Mulk: 1-2)<br /><span class="fullpost"><br />3. Cobaan dan ujian alat introspeksi diri dan pelajaran agar manusia dapat lebih baik dalam beribadah kepada Allah swt.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Maka
Kami hukumlah Fir`aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka
ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim.</span> (Al-Qashas: 40)<br /><br />4. Cobaan dan ujian sebagai sarana peningkatan ketakwaan seseorang kepada Allah swt.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Dari
Sa’d bin Abi Waqash, aku bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai
Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya?” Beliau
menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang yang seperti para nabi,
kemudian orang-orang yang seperti mereka. Seorang hamba diuji Allah
berdasarkan keimanannya. Jika keimanannya kokoh, maka akan semakin berat
cobaannya. Namun jika keimanannya lemah, maka ia akan diuji berdasarkan
keimanannya tersebut. Dan cobaan tidak akan berpisah dari seorang hamba
hingga nanti ia meninggalkannya berjalan di muka bumi seperti ia tidak
memiliki satu dosa pun</span>. (HR. Turmudzi).<br /><br />5. Cobaan dan ujian merupakan salah satu bentuk cinta Allah terhadap hamba-hamba-Nya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Dari
Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Besarnya suatu pahala
adalah tergantung dari besarnya ujian dari Allah. Dan sesungguhnya Allah
swt. apabila mencintai suatu kaum, Allah menguji mereka. Jika (dengan
ujian tersebut) mereka ridha, maka Allah pun memberikan keridhaan-Nya.
Dan siapa yang marah (tidak ridha), maka Allah pun marah terhadapnya.”
(HR. Turmudzi dan Ibnu Majah)</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Bencana Alam: Antara Ujian dan Azab</span><br /><br />Ketika
bencana datang dan menimbulkan korban dan kerugian yang besar –seperti
gempa dan tsunami di Aceh, banjir yang melumpuhkan Jakarta– sering
muncul pertanyaan: musibah ini azab atau cobaan dari Allah?<br /><br />Sesungguhnya
kita telah punya jawabannya dari ayat-ayat Alquran. Ketika Allah
membinasakan suatu kaum, di satu sisi hal tersebut adalah azab yang
Allah timpakan kepada mereka lantaran kekufuran mereka kepada Allah swt.
Namun, di sisi lain itu merupakan ujian bagi kaum yang beriman; supaya
mereka lebih dapat meningkatkan keimanannya kepada Allah swt.<br /><br />Contoh,
kisah Nabi Nuh a.s. yang dipaparkan Allah dalam surat ayat 25-49. Di
sana Allah mengisahkan kaum Nabi Nuh senantiasa ingkar dan tidak mau
beriman kepada Allah swt., maka Allah timpakan azab kepada mereka berupa
banjir yang sangat besar. Bahkan, Alquran menggambarkan banjir itu
datang dengan gelombang seperti gunung. (Hud: 42).<br /><br />Saat terjadi
banjir besar itu, Nabi Nuh melihat anaknya di tempat yang jauh
terpencil. Lalu beliau memanggilnya. Namun sang anak tidak mau
mengikuti, bahkan berlari ke arah bukit. Kemudian Nabi Nuh berdoa agar
Allah menyelamatkan anaknya karena anak itu adalah anggota keluarganya
(Nuh : 45). Namun Allah mematahkan logika manusiawi Nabi Nuh. Bagi
Allah, anak itu bukan termasuk keluarga Nabi Nuh karena tidak mau
beriman kepada Allah swt.<br /><br />Peristiwa ini jika dilihat dari satu
sisi adalah azab yang Allah timpakan kepada kaum Nabi Nuh karena
keingkaran dan kekufuran mereka. Namun di sisi yang lain peristiwa itu
adalah ujian dan cobaan sekaligus rahmat bagi orang-orang beriman yang
mengikuti Nabi Nuh.<br /><br />Bagi Nabi Nuh sendiri, kejadian tersebut
merupakan ujian berat. Karena dengan mata kepalanya sendiri dari bahtera
yang dinaikinya, ia menyaksikan anak kandungnya lenyap ditelan ombak
besar (Hud: 43). Orang tua mana yang tega melihat anaknya meregang nyawa
ditelan ombak besar, sementara ia aman di atas sebuah bahtera? Jadi,
ini adalah cobaan yang begitu berat bagi Nabi Nuh, sekaligus peringatan
bagi Nabi Nuh sendiri maupun bagi umatnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sebab-sebab Terjadinya Bencana</span><br /><br />Dalam
Alquran banyak sekali diceritakan tentang musibah dan bencana yang
menimpa orang-orang terdahulu. Dan, semua musibah dan bencana besar yang
pernah menimpa manusia –diterangkan oleh Alquran—adalah selalu terkait
dengan kekufuran dan keingkaran manusia itu sendiri kepada Allah swt.
Silakan simak beberapa data di bawah ini.<br /></span><br />
<ul style="text-align: justify;">
<li><span class="fullpost">Kaum
Nabi Nuh, Allah tenggelamkan dengan banjir yang sangat dahsyat, yang
tinggi gelombangnya sebesar gunung (Hud: 42). Hingga, tak ada makhluk
pun yang tersisa melainkan yang berada di atas kapal bersama Nabi Nuh
(Asyu’ara’: 118).</span></li>
<li><span class="fullpost">Kaum nabi
Syu’aib, Allah hancurkan dengan gempa bumi yang dahsyat. Sampai-sampai
Alquran menggambarkan seolah-olah mereka belum pernah mendiami kota
tempat yang mereka tinggali. Lantaran begitu hancurnya kota mereka pasca
gempa (Al-A’raf: 92).</span></li>
<li><span class="fullpost">Kaum Nabi
Luth, Allah hancurkan dengan hujan batu. Alquran menggambarkan,
bangunan-bangunan tinggi hasil peradaban kaum Nabi Luth menjadi rata
dengan tanah (Hud: 82).</span></li>
<li><span class="fullpost">Kaum
Tsamud (kaumnya Nabi Shaleh), juga Allah hancurkan dengan gempa. Mereka
mati bergelimpangan di dalam rumah mereka sendiri (Hud: 67).</span></li>
<li><span class="fullpost">Fir’aun
dan pengikutnya dihancurkan oleh Allah dengan ditenggelamkan ke dalam
lautan hingga tidak satu pun yang tersisa (Al-A’raf: 136).</span></li>
<li><span class="fullpost">Karun
beserta pengikutnya, Allah benamkan mereka ke dalam bumi sehingga
kekayaannya sedikitpun tidak tersisa. Ini lantaran ia sombong kepada
Allah swt. (Al-Qashash:81).</span></li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Alquran
juga mengabarkan bahwa bencana atau musibah yang tidak terkait dengan
kaum tertentu, penyebabnya juga sama: karena kemaksiatan, kufur, ingkar,
dan mendustakan ayat-ayat Allah. Penyebab yang paling ringan adalah
karena perbuatan tangan manusia sendiri yang merusak alamnya (Ar-Rum:
41-42).</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">Telah tampak kerusakan
di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakan
perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang
yang mempersekutukan (Allah).”</span></span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Berikut adalah di antara
ayat-ayat Alquran yang berbicara mengenai bencana atau azab yang menimpa
suatu kaum kaum, termasuk diri kita.</span><br /><span class="fullpost"></span></div>
<ul style="text-align: justify;">
<li><span class="fullpost">Penyebab
terjadi azab atau musibah adalah lantaran mendustakan ayat-ayat Allah.
Padahal jika kita beriman, Allah akan membukakan pintu-pintu keberkahan
baik dari langit maupun dari bumi. (Al-A’raf: 96)</span></li>
<li><span class="fullpost">Penyebab
terjadinya bencana atau musibah adalah lantaran manusia menyekutukan
Allah dengan sesuatu (baca: syirik), seperti mengatakan bahwa Allah
memiliki anak.</span></li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost"><blockquote>
Dan
mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.”
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat
mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah,
dan gunung-gunung runtuh. Karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak. (Maryam: 91)</blockquote>
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost"></span></div>
<ul style="text-align: justify;">
<li><span class="fullpost">Allah timpakan bencana kepada kaum yang tidak mau memberikan peringatan kepada orang-orang dzalim di antara mereka.</span></li>
</ul>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost"><blockquote>
Dan
peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang
yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaan-Nya. (Al-Anfal: 25)</blockquote>
</span></div>
<br /><span class="fullpost"></span><ul>
<li><span class="fullpost">Dalam
hadits juga digambarkan bahwa azab dan bencana itu bisa bersumber dari
kemaksiatan yang akibatnya dirasakan secara sosial. Di antaranya adalah
perbuatan zina dan riba.</span></li>
</ul>
<span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Dari
Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah
suatu kaum mereka melakukan dengan terang-terangan berupa riba dan zina,
melainkan halal bagi Allah untuk menimpakan azabnya kepada mereka.”
(HR. Ahmad)</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Sesungguhnya masih banyak ayat dan hadits yang
memaparkan tentang sebab-sebab terjadinya musibah atau bencana. Tapi,
dari yang dipaparkan di atas kita tahu bahwa setiap musibah dan bencana
selalu terkait dengan dosa yang dilakukan oleh manusia. Bentuknya bisa
berupa membudayanya praktik riba dan zina. Bisa juga karena mengkufuri
nikmat Allah, mendustakan ayat-ayat Allah, dan menyekutukan Allah.</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Karena
itu, atas semua musibah dan bencana yang tengah kita alami saat ini,
seharusnya kita mawasdiri: apakah ini azab akibat kemaksiatan yang kita
lakukan, ataukah cobaan untuk meningkatkan ketakwaan kita? Yang pasti,
tidak ada waktu lagi bagi kita untuk tidak segera bertaubat. Jangan
sampai menunggu bencana yang lebih besar kembali datang memusnahkan
kita. Ketika bencana itu datang, tak ada lagi kata taubat diterima!</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-89378570685047605032012-04-23T08:17:00.000-07:002012-04-23T08:17:50.831-07:00Sesuai Persangkaan Hamba pada Allah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="meta">
<div class="cat" style="text-align: center;">
<img height="264" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5jtpwLSwViA-Qh3RctZsgC55wmgpgFeYTU4mX6cN9zSM8Wcg2RzclROp1lIKwA6iA56-h7aJxptcBqscC57HD9QKY1mJba1tCWHah4JzAcdnUGTdugvAslrgmpnLgvY_ZHonYh_7T0HJ2/s320/just-say-no-to-negative-thinking.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="320" /> </div>
<div class="cat" style="text-align: center;">
gambar ilustrasi </div>
<div class="cat" style="text-align: center;">
sumber gambar: http://lova-yolanda.blogspot.com/2011/10/prasangka-negatif.html</div>
<div class="cat" style="text-align: center;">
</div>
<div class="cat">
Kategori: <a href="http://muslim.or.id/category/tazkiyatun-nufus" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam Tazkiyatun Nufus">Tazkiyatun Nufus</a></div>
<div class="com">
<a href="http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/sesuai-persangkaan-hamba-pada-allah.html#comments">1 Komentar</a> // 22 April 2012</div>
<div class="com">
<br /></div>
</div>
Sesuai persangkaan hamba pada Allah. Artinya, jika seorang
hamba bertaubat dengan taubatan nashuha (yang tulus), maka Allah akan
menerima taubatnya. Jika dia yakin do’anya akan dikabulkan, maka Allah
akan mudah mengabulkan. Berbeda jika kondisinya sudah putus asa dan
sudah berburuk sangka pada Allah sejak awal.<br />
<a name='more'></a><br />
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,<br />
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى<br />
“<em>Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku</em>” (Muttafaqun ‘alaih).<br />
<br />
Mengenai makna hadits di atas, Al Qodhi ‘Iyadh berkata, “Sebagian
ulama mengatakan bahwa maknanya adalah Allah akan memberi ampunan jika
hamba meminta ampunan. Allah akan menerima taubat jika hamba bertaubat.
Allah akan mengabulkan do’a jika hamba meminta. Allah akan beri
kecukupan jika hamba meminta kecukupan. Ulama lainnya berkata maknanya
adalah berharap pada Allah (roja’) dan meminta ampunannya” (Syarh
Muslim, 17: 2).<br />
<br />
Inilah bentuk husnuzhon atau berprasangka baik pada Allah yang
diajarkan pada seorang muslim. Jabir berkata bahwa ia pernah mendengar
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat tiga hari sebelum
wafatnya beliau,<br />
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ<br />
“<em>Janganlah salah seorang di antara kalian mati melainkan ia harus berhusnu zhon pada Allah</em>” (HR. Muslim no. 2877).<br />
<br />
Husnuzhon pada Allah, itulah yang diajarkan pada kita dalam do’a.
Ketika kita berdo’a pada Allah kita harus yakin bahwa do’a kita akan
dikabulkan dengan tetap melakukan sebab terkabulnya do’a dan menjauhi
berbagai pantangan yang menghalangi terkabulnya do’a. Karena ingatlah
bahwasanya do’a itu begitu ampuh jika seseorang berhusnuzhon pada Allah.<br />
<br />
Allah Ta’ala berfirman,<br />
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ<br />
“<em>Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.</em>” (QS. Ghofir/ Al Mu’min: 60)<br />
<br />
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ<br />
“<em>Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka
itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran</em>.” (QS. Al Baqarah: 186)<br />
<br />
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ<br />
<br />
“<em>Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a</em>.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, dan Ahmad 2: 362, hasan)<br />
Jika seseorang berdo’a dalam keadaan yakin do’anya akan terkabul, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
<br />
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ<br />
“<em>Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan
ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.</em>” (HR. Tirmidzi no. 3479, hasan)<br />
<br />
Jika do’a tak kunjung terkabul, maka yakinlah bahwa ada yang terbaik
di balik itu. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,<br />
ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ
قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا
أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى
الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا. قَالُوا
إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ<br />
“<em>Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak
mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen)
melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: (1) Allah akan segera
mengabulkan do’anya, (2) Allah akan menyimpannya baginya di akhirat
kelak, dan (3) Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.”
Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak
berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah
nanti yang memperbanyak mengabulkan do’a-do’a kalian.</em>” (HR. Ahmad 3: 18, sanad jayyid).<br />
<br />
Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam berkata, <br />
فالإلحاحُ بالدعاء بالمغفرة مع رجاء الله تعالى موجبٌ للمغفرة<br />
“Terus meminta dengan do’a dan memohon ampunan Allah disertai rasa
penuh harap pada-Nya, adalah jalan mudah mendapatkan maghfiroh
(ampunan).”<br />
<br />
Maka yakinlah terus pada janji Allah, husnuzhon-lah pada-Nya.
Janganlah berprasangka kecuali yang baik pada Allah. Dan jangan putus
asa dari rahmat Allah dan teruslah berdo’a serta memohon pada-Nya.<br />
Ya Allah, kabulkanlah dan perkenankanlah setiap do’a kami.<br />
<br />
@ KSU, Riyadh, KSA, 13 Rabi’uts Tsani 1433 H<br />
Penulis: <a href="http://rumaysho.com/">Muhammad Abduh Tuasikal</a><br />
Artikel <a href="http://muslim.or.id/">Muslim.Or.Id</a></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-31290625815043848572012-04-15T05:45:00.000-07:002012-04-15T05:45:01.498-07:00JUJUR DENGAN DAKWAH<div style="text-align: center;">
<img alt="http://catatanmy.files.wordpress.com/2011/12/jujur.gif" src="http://catatanmy.files.wordpress.com/2011/12/jujur.gif" /> </div>
<div style="text-align: center;">
Gambar Ilustrasi</div>
<div style="text-align: center;">
Sumber: http://catatanmy.files.wordpress.com/2011/12/jujur.gif </div>
<br />
Oleh : Dr. Attabiq Luthfi, MA<br />Sumber : Dakwatuna.Com<br />
<a name='more'></a><span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">A</span></span>sh-shidq
(kejujuran) merupakan “Faridhah Diniyyah” satu kewajiban agama yang
berlaku dalam semua bidang kehidupan dan dalam semua keadaan. Baik dalam
konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan berjamaah. Karena kejujuran
menunjukkan keikhlasan seseorang yang tertinggi dalam beramal. Bahkan
kekuatan suatu ucapan atau tindakan justru ditentukan oleh kejujurannya.
Ketika orang-orang munafik mengatakan tentang Rasulullah dan secara
lahir ucapan itu benar “<span style="font-style: italic;">Kami bersaksi
bahwa engkau (Muhammad) adalah utusan Allah”, namun Allah tetap
membantah dan mencap mereka sebagai para pendusta karena kebenaran
ucapan mereka hanya sebatas di lisan, tidak disertai dengan kebenaran
hati. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
“Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar
orang pendusta”.</span> (Al-Munafiqun: 1)<br /><br />Demi keagungan sifat
shidiq, Allah menyifati diri-Nya dengan sifat ini di dalam beberapa ayat
Al-Qur’an. Seperti dalam surah Ali Imran: 95,<span style="font-style: italic;"> “Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” </span>Juga dalam surah An-Nisa: 122 <span style="font-style: italic;">“Dan
siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?” Dan siapakah
orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” </span>(An-Nisa’: 87) dan surah Al-Ahzab: 22, <span style="font-style: italic;">“Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan”.</span><br /><span class="fullpost"><br />Beberapa
Rasul-Nya juga dimuliakan dan dihiasi dengan sifat ini dalam dakwah
mereka, seperti dalam surah Yasin: 53 Allah menjamin kebenaran dan
kejujuran para Rasul dalam menyampaikan risalah-Nya, “<span style="font-style: italic;">Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(-Nya)”.</span> dan Maryam: 54. <span style="font-style: italic;">“Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut)
di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya,
dan dia adalah seorang rasul dan nabi.”</span> Bahkan sifat ini
merupakan sifat dasar para pengemban dakwah. Terutama Rasulullah saw
selaku uswah dalam semua sifat-sifat yang baik. Bahkan sebelum diangkat
menjadi Rasul, beliau sudah dikenal di tengah-tengah masyarakatnya
dengan gelar “Ash-shadiqul Amin”. Sangat jelas kepemimpinan dalam dakwah
sangat menuntut keteladanan dalam kejujuran dan kebenaran dalam
aktivitas dakwahnya.<br /><br />Begitu besar nilai shidiq dalam kehidupan
seseorang. Tentunya bagi seorang dai. Bahkan jika seseorang mampu
komitmen dengan sifat ini dalam apa jua keadaan dan tidak pernah
meninggalkannya, maka ia akan meraih gelar shiddiq. Dan kedudukan
orang-orang shiddiqin adalah di bawah kedudukan para nabi. <span style="font-style: italic;">“Dan
barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. </span>(An-Nisa’: 69)<br /><br />Diriwayatkan
bahwa ketika orang-orang musyrik sepakat untuk melontarkan tuduhan keji
kepada Rasulullah, tiba-tiba salah seorang yang dikenal sangat memusuhi
Rasulullah yaitu An-Nadhr bin Al-Harits malah berbicara dengan lantang
di hadapan mereka karena kebenaran dan kejujuran Rasulullah yang tidak
bisa disangsikan lagi dan sudah menjadi buah bibir orang banyak.
“Muhammad adalah seorang yang masih beliau percaya di antara kalian. Ia
seorang yang paling benar ucapannya, paling besar sifat amanahnya. Jika
ia dikenal demikian, apakah kalian tetap akan menuduhnya sebagai tukang
sihir? Tidak, sungguh ia bukan tukang sihir”. Ternyata kejujuran justru
bisa menjadi pelindung dari rekayasa dan upaya musuh menghasut kita,
secara internal maupun eksternal. Sebaliknya, jika kejujuran atas
komitmen dengan dakwah ini berkurang, maka akan mempermudah masuknya
rekayasa eksternal atau timbulnya ekses internal yang berdampak kepada
menghambat perkembangan dakwah, karena beberapa energi akan dialokasikan
untuk membenahi kejujuran secara internal.<br /><br />Selanjutnya Al-Qur’an
menetapkan bahwa sifat shidiq adalah cermin dan sifat dasar orang-orang
pilihan dari hamba-hamba-Nya yang shaleh, taat dan lurus, padahal
keshalehan, ketaatan dan kelurusan merupakan bagian yang dituntut dalam
menegakkan dakwah. Allah menggambarkan sifat orang-orang pilihan-Nya
dalam surah Az-Zumar: 33 “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad)
dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Juga dalam
surah Al-Hasyr ayat 8 yang menggambarkan kemuliaan orang-orang
Muhajirin, “dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar.”<br /><br />Allah sendiri memerintahkan orang-orang
yang beriman agar senantiasa bersikap shidiq setelah perintah-Nya agar
mereka bertaqwa. Sehingga kesempurnaan ketakwaan seseorang harus
senantiasa diiringi dengan kejujuran dan kebenaran. “Hai orang-orang
yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119). Sesungguhnya dalam ayat ini
terdapat dua perintah sekaligus, yaitu agar orang-orang beriman
senantiasa bersifat shidiq, juga senantiasa berada dalam barisan bersama
orang-orang yang shadiq.<br /><br />Bahkan dalam rangka melakukan
konsolidasi dan penguatan barisan aktivis dakwah, Allah memerintahkan
Rasul-Nya agar senantiasa mencari dan mengawasi para pengikutnya, sampai
benar-benar ia mengetahui orang-orang yang shadiq di antara mereka demi
memelihara kemuliaan mereka dan mengetahui orang-orang yang dusta untuk
mewaspadai gerak-gerik mereka. Allah menegaskan dalam firman-Nya, <span style="font-style: italic;">“Semoga
Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak
pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam
keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?”</span> (At-Taubah: 43)<br /><br />Terkait
dengan ayat ini, Ibnul Qayyim menjelaskan dengan rinci keutamaan sifat
shidiq di dalam kitabnya Madarijus Salikin, bahwa dengan sifat ini akan
dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang benar
beriman. Sifat inilah yang menjadi ruh amal perbuatan. Oleh karena itu
kedudukannya di bawah kedudukan kenabian yang merupakan kedudukan
manusia tertinggi di atas muka bumi ini”.<br /><br />Selanjutnya Ibnul
Qayyim menjelaskan dengan lebih rinci bahwa sifat ini sebagaimana
dianjurkan dalam perkataan, juga dalam perbuatan dan keadaan. Shidiq
dalam perkataan artinya lurusnya lisan dengan ucapan seperti lurusnya
ranting di atas dahan. Shidiq dalam perbuatan adalah tegaknya perbuatan
sesuai dengan tuntunan perintah seperti tegaknya kepala di atas tubuh
seseorang. Dan shidiq dalam keadaan adalah tegaknya amalan-amalan hati
dan anggota badan atas dasar ikhlas, kesungguhan dan pengerahan
kemampuan yang maksimal.<br /><br />Demikianlah beragam bentuk kejujuran
yang harus dimiliki oleh setiap aktivis dakwah. Dan kejujuran yang
paling tinggi adalah kejujuran di dalam memegang sumpah setia dan
menunaikan janji dengan dakwah hingga titik darah penghabisan. Seperti
yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya yang menunjukkan hanya
sebagian aktivis dakwah yang mampu berbuat demikian. <span style="font-style: italic;">“Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka
tidak merubah (janjinya)”.</span> (Al-Ahzab: 23)<br /><br />Contoh dari
kejujuran dalam Al-Wafa’ bil Ahdi bisa ditemukan pada pribadi Anas bin
An-Nadhr. Ia telah merealisasikan kejujurannya dalam berjanji dengan
Allah untuk tetap teguh dalam dakwah hingga meraih syahadah. Ternyata ia
ditemukan syahid dengan kondisi tubuh yang penuh dengan luka. Demikian
juga kejujuran yang ditunjukkan oleh Mush’ab bin Umair yang jujur dengan
komitmen dakwahnya hingga ia syahid dalam dakwah.<br /><br />Dalam konteks ini, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda,<span style="font-style: italic;">
“Para syuhada itu terbagi empat golongan. Pertama di tingkat yang
paling tinggi adalah seorang mukmin yang baik imannya. Ia bertemu musuh
lantas ia menunjukkan kebenaran dengan janjinya hingga terbunuh. Kedua
seseorang yang baik imannya namun begitu takut bertemu musuh, namun
kemudian ia terkena anak panah yang nyasar dan meninggal. Ketiga seorang
mukmin yang bercampur amal baiknya dengan amal buruk, namun kemudian ia
bertemu musuh dan membenarkan janjinya hingga meninggal. Keempat
seorang mukmin yang banyak melakukan maksiat, namun kemudian ia bertemu
musuh dan terbunuh”.</span><br /><br />Dakwah ini akan bisa memberikan kebaikan dan keberkahan manakala dikemudikan dan<br />disertai
oleh mereka yang berpegang teguh dengan sifat ini. Betapa dalam urusan
jual beli, Rasulullah menyatakan bahwa keberkahan hanya akan diraih jika
kedua belah pihak mengedepankan sifat ini. Namun keberkahan itu akan
dicabut manakala keduanya atau salah seorang dari mereka tidak peduli
lagi dengan kejujuran. <span style="font-style: italic;">“Kedua pihak
(penjual dan pembeli) berhak untuk menentukan pilihan selama mereka
belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya maka jual
beli mereka akan mendapatkan keberkahan. Namun manakala keduanya
berbohong dan menyembunyikan kebenaran, maka keberkahan itu akan dicabut
kembali”.</span> (Al-Hadits)<br /><br />Memang bukan hal yang mudah untuk
bisa jujur dalam segala urusan dan dalam semua keadaan. Untuk itu, Nabi
Ibrahim, seorang nabi yang shaleh masih tetap dengan penuh tawadhu’
memohon kepada Allah agar senantiasa tutur katanya dijaga oleh Allah
sehingga menjadi contoh yang baik bagi generasi kemudian. Ibrahim
berdoa: <span style="font-style: italic;">“Ya Tuhanku, berikanlah
kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang
saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang
datang) kemudian”.</span> (Asy-Syu’ara’: 83-84)<br /><br />Agar bisa dan
terbiasa jujur dengan orang lain, perlu diawali dengan jujur terhadap
diri sendiri. Terutama jujur dengan kewajiban-kewajiban terhadap Allah
swt. Tentu bisa komitmen dengan sifat ini dalam dakwah membutuhkan
motivasi yang tinggi, tekad yang bulat serta keyakinan yang teguh.
Diibaratkan oleh Ibnul Qayyim bahwa membawa sifat ini dalam kehidupan
seperti mengangkat gunung yang tinggi. Tidak akan ada yang mampu
mengangkatnya melainkan orang-orang yang kuat kemauan dan niatnya.
Karena kejujuran yang sesungguhnya adalah kejujuran yang ditampilkan
saat tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawa kita kecuali dengan
berbohong.<br /><br />Sebagai motivasi, perlu untuk senantiasa diingat balasan yang tinggi bagi orang-orang yang bisa jujur, “Allah berfirman: <span style="font-style: italic;">“Ini
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran
mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap-Nya[457].
Itulah keberuntungan yang paling besar.” </span>(Al-Ma’idah: 119). Dan
sebaliknya akibat dan hukuman yang akan dikenakan terhadap orang-orang
yang dusta dalam hidupnya. Dan pada hari kiamat kamu akan melihat
orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam.
Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang
menyombongkan diri?” (Az-Zumar: 60) betapa kita mendambakan tampilkan
aktivis dakwah yang bias berpegang komit dengan kejujuran dan kebenaran
dalam segala situasi dan kondisi apapun, sehingga dakwah ini akan lebih
memberikan kebaikan dan keberkahan bagi umat Islam. Sudah saatnya memang
kita merefleksi sejauhmana tingkat kejujuran kita dengan dakwah ini.
Wallahu A’lam.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-28770460345565187262012-04-13T06:02:00.000-07:002012-04-13T06:02:22.576-07:00YANG MENANG DAN YANG GAGAL<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<img height="272" id="il_fi" src="http://www.yousaytoo.com/uploads/post_images/c7/46/89/3255480/remote_image_1331648522.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="315" /><span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;"> </span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;"> Gambar Ilustrasi</span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Sumber Gambar: http://www.yousaytoo.com/kata-kata-bijak-untuk-membangkit-semangat-hidup/2025211</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Oleh : Dr. Attabiq Luthfi, MA</span><br /><span style="font-weight: bold;">Sumber : Dakwatuna.Com</span></span><br /><br />“<span style="font-size: 180%; font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">D</span></span><span style="font-style: italic;">an
demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya</span>”. (Asy-Syams: 7-10)</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
Sumpah Allah
dengan jiwa (nafs) pada ayat ini merupakan kelanjutan dari sumpah Allah
dengan makhluk-makhluk-Nya yang agung; matahari, bulan, waktu siang dan
malam, serta langit dan bumi. Betapa tinggi dan besar nilai jiwa,
karenanya Allah menutup sumpah-Nya dalam surah ini dengan jiwa dan
mensejajarkannya dengan jajaran ciptaan-Nya yang agung. Sungguh, Allah
hanya bersumpah dengan sesuatu yang harus diperhatikan oleh
hamba-hamba-Nya, termasuklah tentang pensucian jiwa ini yang seringkali
dilalaikan oleh manusia.<br /><br />Dalam penciptaannya, jiwa juga berbeda
dengan ciptaan Allah yang lain. Ketika Allah Taala menciptakan jiwa
manusia, Dia menciptakan bersamanya potensi untuk melakukan kebaikan
atau keburukan, dan menjadikan manusia mampu menggunakan anggota
tubuhnya untuk memilih jalan yang dikehendaki. Kebebasan memilih ini
memiliki konsekuensi, mendapatkan ganjaran dan hukuman di hari
perhitungan (pertanggungjawaban) kelak di hari kiamat. “<span style="font-style: italic;">Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya</span>”. (Asy-Syams: 9-10)<br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Khalid
bin Ma’dan, seorang tabi’in terkemuka menyatakan tentang penyempurnaan
jiwa manusia agar meraih keberuntungan, “Tidak ada seorang hamba kecuali
ia mempunyai empat mata. Dua mata di wajahnya untuk melihat perkara
dunia, dan dua mata di hatinya untuk melihat perkara akhirat. Jika Allah
menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia akan membukakan kedua
matanya di hatinya, sehingga pemiliknya mampu memandang perkara akhirat,
dan jika Allah menghendaki terhada seorang hamba selain itu, ia
meninggalkannya sebagaimana adanya. Kemudian Hamid bin Ma’dan membaca
ayat, “Am ‘ala quluubih aqfaaluha”.</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Syekh Amru Khalid, dalam
bukunya Ar-Ruuh wa Al-Maadah, mnangkap sebuah pragmen yang sering
terjadi di sekitar kita. Diceritakan dua orang pengusaha keluar dari
sebuah swalayan besar. Di depan pintu keluar, seorang ibu tua papa
meminta belas kasihan mereka. Seorang dari pengusaha memberikan beberapa
lembar uang. Sedang seorang lagi berjalan terus, tidak peduli terhadap
permitaan wanita papa itu.</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Perbedaan sikap itu menurut Syekh Amru
Khalid adalah disebabkan bedanya “makanan” yang dikonsumsi kedua
pengusaha itu. Pengusaha pertama termasuk orang yang memperhatikan bukan
saja makanan untuk jasadnya, tapi juga makanan untuk ruh dan jiwanya.
Sedangkan yang kedua hanya mengkonsumsi makanan untuk jasadnya.</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Hal
ini karena manusia diciptakan dari dua komponen, yakni dari jasad dan
ruh. Jasad tampak jelas di luar manusia. Sedangkan ruh mengisi di dalam
jasad. Keduanya saling terkait. Dan keduanya mempunyai asal-mula dan
jenis kebutuhan masing-masing.</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Jasad berasal dari tanah dan
kebutuhannya adalah makan, minum, pakaian, dan hubungan lain jenis.
Sedangkan ruh bersumber Allah yang ditiupkan kepada Adam as. Seperti
disebutkan dalam firman-Nya, <span style="font-style: italic;">“Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaaan)-Ku, maka tunduklah kamu (para malaikat)
kepadanya dengan bersujud (kepada Adam as.)</span>.” (Al-Hijr: 29) Dan
kebutuhan jiwa adalah setiap yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
Taala, tilawah Al-Qur’an, shalat dengan khusyu’, banyak berpuas,
membantu sesama dan lain sebaganya. Sayangnya banyak orang yang memahami
diri mereka berkomponen jasad saja. Sehingga yang mereka perhatikan
hanya untuk kebutuhannya, dari makanan, pakaian, atau kecantikan. Setiap
saat mereka memikirkan bagaimana keperluan untuk jasad mereka. Mereka
bisa sedih, menderita dan takut jika jasadnya sakit atau rusak.</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Namun
mereka tidak memperhatikan kebutuhan komponen lain dari penopang
jasadnya, bagi ruhnya. Padahal antara keduanya saling terkait. Juga ruh
berinteraksi dan ‘tumbuh’ layaknya jasad bagi manusia. Ia membutuhkan
makanan dan perhatian. Jika ruh selalu menkonsumsi kebutuhan,
makanannya, dari amalan yang baik, maka ruh menjadi sehat dan pemiliknya
dapat memberikan nilai-nilai luhur bagi jasad. Tapi jika ia tidak
mengkonsumsi makanannya, tidak diperhatikan lambat-laun hampa, sakit dan
mati.</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Dan ini akan mengakibatkan pemiliknya bukan saja tidak
peduli terhadap ajaran-ajaran-Nya, tapi juga terhadap sesama, seperti
bersedekah, membantu, seperti pengusaha di atas. Inilah yang kebanyakan
dikonsumsi Barat dengan paham hedonis, bermegah-megahan untuk
kepentingan jasad tanpa ruh. Sehingga membuat kelalaian terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, menghalalkan segala cara demi jasad mereka.
Benarlah kata Al-Qur’an, <span style="font-style: italic;">“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.”</span> (At-Takatsur: 1). Karenanya, yang tepat adalah memberikan keseimbangan pada kebutuhan jasad dan ruh kita.</span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya.” </span>(Al-Ankabut: 6)</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">“Dan
barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Tuhanku aha Kaya lagi Maha mulia.” </span>(An-Naml: 40)</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">“Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya.”</span> (An-Naml: 92)</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">“Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri.” </span>(Fathir: 18)</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Seluruh
ayat-ayat senada adalah bermakna Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan
hamba-Nya dan ibadah mereka. Mereka melakukan dengan apa yang mereka
lakukan adalah untuk menolong jiwa mereka dari neraka, agar jiwa mereka
lurus, dan memungkinkan hidup dengan tenang di dunia, serta untuk
mengaplikasikan unsur kemanusiaannya di dunia.</span><br /><span class="fullpost"></span><br /><span class="fullpost">Betapa sering
dalam keseharian kita, disadari atau tidak, jiwa kita terkotori oleh
ucapan kita, sikap dan perilaku serta tindakan kita. Semuanya memberi
pengaruh terhadap kesucian jiwa yang Allah ciptakan hanya untuk manusia.
Maka untuk mengobati jiwa yang sakit, dan untuk meraih kemenangan dan
menghindar dari kegagalan, Allah telah menawarkan petunjuk-Nya dalam
surah Al-Mu’minun 1-10. Rasulullah saw bersabda seperti dalam riwayat
Umar bin Khathab r.a. bahwa baginda bersabda, <span style="font-style: italic;">“Telah
diturunkan kepadaku 10 ayat. Barangsiapa menegakkannya, niscaya ia akan
masuk surga. Kemudian Rasulullah saw membaca ayat 1 hingga ayat 10 dari
surah Al-Mu’minun”</span>. (H.R. Imam At-Tirmidzi)</span><br /><span class="fullpost"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-55981054067581822012012-04-10T07:56:00.000-07:002012-04-10T07:56:26.615-07:00SABAR DAN SHALAT SEBAGAI PENOLONG<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;"> </span></span><img height="400" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2qOsmJPe3x6DiCxVwzZeEkrxGWk41Irhp19AqHkQwJkCMkUHZmCrfzOgTKZ-jMrXtnGPbcMoV5SN8ik8hnWbViLEq_6Noz5NqIZC820EyHYrm3MsLv9xkOSg93W7YlKnSykvrLU5BnyA/s1600/Sholat+Berjamaah+di+Shadr+City+-+Irak.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="600" /></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;"> Gambar Ilustrasi</span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Sumber Gambar: http://infoummi.blogspot.com/2010/12/sabar-dan-shalat-sebagai-penolong.html</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;"><br /></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-weight: bold;">Oleh : Dr. Attabiq Luthfi, MA. </span><br /><span style="font-weight: bold;">Sumber : Dakwatuna.com</span></span><span style="font-style: italic;"><br /><br />“Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu)
orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al-Baqarah: 45-46)</span></div>
<a name='more'></a>Ibnu
Katsir menjelaskan satu prinsip dan kaidah dalam memahami Al-Qur’an
berdasarkan ayat ini bahwa meskipun ayat ini bersifat khusus ditujukan
kepada Bani Israel karena konteks ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan
kepada mereka, namun secara esensi bersifat umum ditujukan untuk mereka
dan selain mereka. Bahkan setiap ayat Al-Qur’an, langsung atau tidak
langsung sesungguhnya lebih diarahkan kepada orang-orang yang beriman,
karena hanya mereka yang mau dan siap menerima pelajaran dan petunjuk
apapun dari Kitabullah. Maka peristiwa yang diceritakan Allah Taala
tentang Bani Israel, terkandung di dalamnya perintah agar orang-orang
yang beriman mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami mereka.
Begitulah kaidah dalam setiap ayat Al-Qur’an sehingga kita bisa
mengambil bagian dari setiap ayat Allah swt. <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">“Al-Ibratu Bi’umumil Lafzhi La Bikhusus sabab” </span>(Yang
harus dijadikan dasar pedoman dalam memahami Al-Qur’an adalah umumnya
lafazh, bukan khususnya sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya”.<br /><br />Perintah
dalam ayat di atas sekaligus merupakan solusi agar umat secara kolektif
bisa mengatasi dengan baik segala kesulitan dan problematika yang
datang silih berganti. Sehingga melalui ayat ini, Allah memerintahkan
agar kita memohon pertolongan kepada-Nya dengan senantiasa mengedepankan
sikap sabar dan menjaga shalat dengan istiqamah. Kedua hal ini
merupakan sarana meminta tolong yang terbaik ketika menghadapi berbagai
kesulitan. Rasulullah saw selaku uswah hasanah, telah memberi contoh
yang konkrit dalam mengamalkan ayat ini. Di dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dijelaskan bahwa,<span style="font-style: italic;"> “Sesungguhnya Rasulullah saw apabila menghadapi suatu persoalan, beliau segera mengerjakan shalat“</span>.<span class="fullpost"><br /><br />Huzaifah bin Yaman menuturkan, <span style="font-style: italic;">“Pada
malam berlangsungnya perang Ahzab, saya menemui Rasulullah saw,
sementara beliau sedang shalat seraya menutup tubuhnya dengan jubah.
Bila beliau menghadapi persoalan, maka beliau akan mengerjakan shalat“</span>. Bahkan Ali bin Abi Thalib menuturkan keadaan Rasulullah saw pada perang Badar, <span style="font-style: italic;">“Pada malam berlangsungnya perang Badar, semua kami tertidur kecuali Rasulullah, beliau shalat dan berdo’a sampai pagi</span>“.<br /><br />Dalam
riwayat Ibnu Jarir dijelaskan bagaimana pemahaman sekaligus pengamalan
sahabat Rasulullah saw terhadap ayat ini. Diriwayatkan bahwa ketika Ibnu
Abbas melakukan perjalanan, kemudian sampailah berita tentang kematian
saudaranya Qatsum, ia langsung menghentikan kendaraanya dan segera
mengerjakan shalat dua raka’at dengan melamakan duduk. Kemudian ia
bangkit dan menuju kendaraannya sambil membaca,<span style="font-style: italic;">
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’“.</span><br /><br />Secara
khusus untuk orang-orang yang beriman, perintah menjadikan sabar dan
shalat sebagai penolong ditempatkan dalam rangkaian perintah dzikir dan
syukur. <span style="font-style: italic;">“Karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepadaKu
dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku. Hai orang-orang yang beriman,
jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah swt
senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar“</span>. (Al-Baqarah:
152-153). Dalam kaitan dengan dzikir, menjadikan sabar dan shalat
sebagai penolong adalah dzikir. Siapa yang berdzikir atau mengingat
Allah dengan sabar, maka Allah akan mengingatnya dengan rahmat.<br />Masih
dalam konteks orang yang beriman, sikap sabar yang harus selalu
diwujudkan adalah dalam rangka menjalankan perintah-perintah Allah
Taala, karena beban berat yang ditanggungnya akan terasa ringan jika
diiringi dengan sabar dan shalat. Ibnul Qayyim mengkategorikan sabar
dalam rangka menjalankan perintah Allah Taala termasuk sabar yang paling
tinggi nilainya dibandingkan dengan sabar dalam menghadapi musibah dan
persoalan hidup.<br /><br />Syekh Sa’id Hawa menjelaskan dalam tafsirnya,
Asas fit Tafasir kenapa sabar dan shalat sangat tepat untuk dijadikan
sarana meminta pertolongan kepada Allah Taala. Beliau mengungkapkan
bahwa sabar dapat mendatangkan berbagai kebaikan, sedangkan shalat dapat
mencegah dari berbagai perilaku keji dan munkar, disamping juga shalat
dapat memberi ketenangan dan kedamaian hati. Keduanya (sabar dan shalat)
digandengkan dalam kedua ayat tersebut dan tidak dipisahkan, karena
sabar tidak sempurna tanpa shalat, demikian juga shalat tidak sempurna
tanpa diiringi dengan kesabaran. Mengerjakan shalat dengan sempurna
menuntut kesabaran dan kesabaran dapat terlihat dalam shalat seseorang.<br /><br />Lebih
rinci, syekh Sa’id Hawa menjelaskan sarana lain yang terkait dengan
sabar dan shalat yang bisa dijadikan penolong. Puasa termasuk ke dalam
perintah meminta tolong dengan kesabaran karena puasa adalah separuh
dari kesabaran. Sedangkan membaca Al-Fatihah dan doa termasuk ke dalam
perintah untuk meminta tolong dengan shalat karena Al-Fatihah itu
merupakan bagian dari shalat, begitu juga dengan do’a.<br />Memohon
pertolongan hanya kepada Allah merupakan ikrar yang selalu kita
lafadzkan dalam setiap shalat kita, “Hanya kepada-Mu-lah kami menyembah
dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan“. Agar permohonan kita
diterima oleh Allah, tentu harus mengikuti tuntunan dan petunjuk-Nya.
Salah satu dari petunjuk-Nya dalam memohon pertolongan adalah dengan
sentiasa bersikap sabar dan memperkuat hubungan yang baik dengan-Nya
dengan menjaga shalat yang berkualitas. Disinilah shalat merupakan
cerminan dari penghambaan kita yang tulus kepada Allah.<br /><br />Esensi
sabar menurut Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dapat dilihat dari dua hal:
Pertama, sabar karena Allah atas apa yang disenangi-Nya, meskipun
terasa berat bagi jiwa dan raga. Kedua, sabar karena Allah atas apa yang
dibenci-Nya, walaupun hal itu bertentangan keinginan hawa nafsu. Siapa
yang bersikap seperti ini, maka ia termasuk orang yang sabar yang Insya
Allah akan mendapat tempat terhormat.<br /><br />Betapa kita sangat
membutuhkan limpahan pertolongan Allah dalam setiap aktivitas dan
persoalan kehidupan kita. Adalah sangat tepat jika secara bersama-sama
kita bisa mengamalkan petunjuk Allah dalam ayat di atas agar permohonan
kita untuk mendapatkan pertolongan-Nya segera terealisir. Amin</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-37069529109980134582012-04-09T08:12:00.002-07:002012-04-09T08:39:17.559-07:00ANTARA KEBENARAN DAN PEMBENARAN<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img height="309" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdEddikEyeaY0AjJkbvw6Xcpu04rt_dCLxSjko6ayb7LrKG0F9hvEmbKMRCxce-Zq5KZq-dKHhVHt_tLeLgLQLXkV9tds3ESBHdct_0pw-ma8J01v7XVBteanjxc5hpiUqo2WT7sPw4Z0/s400/kebenaran.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="388" /><span style="font-size: 85%;"> </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;">Gambar Ilustrasi </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;">Sumber Gambar: http://ariefabian.blogspot.com/2012/01/jangan-mencari-pembenaran.html </span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<br />
<span style="font-size: 85%;">Oleh: Fahmi Islam Jiwanto, MA<br />Sumber : <a href="http://www.dakwatuna.com/">Dakwatuna.com</a></span><br />
<br />
<span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">S</span></span>emua
anak Adam selalu menginginkan terjadinya hal-hal yang benar, selalu
ingin perilaku dan tindak tanduknya dinilai benar, selalu berharap orang
lain memberikan kepadanya hal-hal yang benar…. Tetapi ternyata…..
Ternyata hal-hal yang dianggap benar, atau dinilai benar tidak semuanya
berdasarkan pada Kebenaran. Terkadang hal-hal yang terlihat atau tampak
benar sebenarnya hanyalah berdasarkan pembenaran semata. Tidak semua
kesalahan sulit dibungkus dengan retorika pembenaran. Tidak semua hawa
nafsu telanjang tanpa pakaian pembenaran. Tidak semua kepalsuan terlihat
apa adanya.<br />
<a name='more'></a>Ada jarak yang jauh antara kebenaran dengan (yang sekedar) pembenaran. Karena:<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Kebenaran bersumber dari Allah, sedangkan pembenaran bersumber dari hati yang sakit.</span><br />
<br />
Allah berfirman tentang kebenaran:<br />
<span class="fullpost"><br /><span style="font-style: italic;">"kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.</span> (al-Baqarah: 147)"<br /><br />Sementara tentang pembenaran Allah berfirman:<br /><br /><span style="font-style: italic;">"dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">dan
bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi”. mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan.” </span>(al-Baqarah: 10-11)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kebenaran menenteramkan hati, sementara pembenaran hanyalah membuat hati guncang dan ragu.</span><br /><br />Rasulullah SAW bersabda dalam hadits diriwayatkan dari Wabishoh bin Ma’bad:<br /><br />جِئْتَ
تَسْأَلُنِي عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ؟ قُلْتُ نَعَمْ فَجَمَعَ
أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهَا فِي صَدْرِي وَيَقُولُ يَا
وَابِصَةُ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ
وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ
وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ رواه أحمد<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Engkau
bertanya kepadaku tentang kebaikan dan dosa.” Wabishoh menjawab, “Iya
wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah mengumpulkan tiga jarinya dan
menusukkannya ke dada Wabishoh, dan bersabda, ” Wahai Wabishoh, tanyalah
hatimu. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan jiwamu
tenteram. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di hatimu dan
mengguncang dadamu, meskipun orang-orang sudah memberimu jawaban. </span>(HR Ahmad juz 37 hal. 438 no. 17315)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kebenaran bertahan lama, sementara pembenaran cepat atau lambat akan tersingkap kepalsuannya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Allah
telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di
lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang
mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk
membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus
itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang
bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada
harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di
bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. </span>(ar-Ra’du: 17)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kebenaran melahirkan kebaikan, sedangkan pembenaran melahirkan kerusakan.</span><br /><br />Tentang akibat masyarakat yang menegakkan kebenaran Allah berfirman,<br /><br /><span style="font-style: italic;">Jikalau
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.</span> (al-A’raf: 96)<br /><br />Tentang masyarakat yang didominasi oleh dosa Allah berfirman,<br /><br /><span style="font-style: italic;">telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).</span>(ar-Rum: 41)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kebenaran terkadang kurang populer, sedangkan pembenaran selalu mengandalkan popularitas.</span><br /><br />Allah berfirman:<br /><br /><span style="font-style: italic;">dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga. </span>(al-An’am: 116)<br /><br />Sedangkan tentang
orang-orang munafiq Allah menceritakan bagaimana mereka memakai sumpah
palsu untuk mendapatkan popularitas, Allah berfirman,<br /><br />"<span style="font-style: italic;">mereka
(orang-orang munafiq) bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk
mencari keridhaanmu, Padahal Allah dan Rasul-Nya Itulah yang lebih patut
mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin." </span>(at-Taubah: 62)<br /><br />Allah juga berfirman<br /><br /><span style="font-style: italic;">dan
di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia
menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi
hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.</span> (Al-Baqarah: 204)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kebenaran adalah sesuatu yang diperjuangkan orang mukmin, sementara pembenaran adalah hal selalu dipakai oleh orang munafik.</span><br /><br />Nabi Syu’aib a.s. mengatakan<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Aku
tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.”</span> (Hud: 88)<br /><br />Nabi Syu’aib ketika
mengatakan kebaikan, dia dalam posisi memperjuangkan kebenaran yang
kadang tidak mendatangkan keuntungan untuknya.<br /><br />Sedangkan pengguna topeng pembenaran menggunakan retorika untuk membela kepentingan dan mempertahankan zona amannya.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Maka
Bagaimanakah halnya apabila mereka sesuatu musibah disebabkan perbuatan
tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil
bersumpah: “Demi Allah, Kami sekali-kali tidak menghendaki selain
penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">mereka
itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati
mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
nasehat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka. </span>(an-Nisa’: 62-63)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Pencari kebenaran selalu mengintrospeksi dirinya, sedangkan pengguna pembenaran selalu menutupi cacatnya.</span><br /><br />Rasulullah bersabda,<br /><br />الْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ
أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ رواه الترمذي وابن
ماجه<br /><br />“<span style="font-style: italic;">Orang yang pandai adalah
yang mengekang jiwanya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.
Sedangkan orang lemah adalah yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan
banyak berangan-angan terhadap Allah. </span>(HR at-Turmudzi dan Ibnu Majah)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kebenaran terkadang pahit dan tidak sesuai dengan hawa nafsu sedangkan pembenaran selalu mengikuti hawa nafsu.</span><br /><br />Rasulullah SAW bersabda,<br /><br />حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ رواه البخاري ومسلم واللفظ له<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi oleh syahwat.” </span>(HR al-Bukhari dan Muslim)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kebenaranlah yang pada akhirnya bermanfaat di akhirat, sedangkan pembenaran hanya akan mempersulit hisab seseorang.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">pada
hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan
apa yang dilalaikannya, bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya
sendiri, meskipun Dia mengemukakan alasan-alasannya. </span>(al-Qiyamah: 13-15)<br /><br />Semoga
Allah memberi petunjuk dan kekuatan pada kita semua untuk mengetahui
dan mengikuti kebenaran di mana pun dan kapan pun. Amiin. Allahu a’lam</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-87340782750519358922012-04-08T07:48:00.001-07:002012-04-08T07:48:50.030-07:00MENJADI YANG PALING DICINTAI<div style="text-align: center;">
<img height="300" id="il_fi" src="http://sidhanimuth.files.wordpress.com/2010/02/allah82.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="400" /><span style="font-size: 85%;"> </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"> Gambar Ilustrasi</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;">Sumber Gambar: </span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<span style="font-size: 85%;">Oleh : <span style="font-weight: bold;">Muhammad Nuh</span><br />Sumber :<a href="http://www.dakwatuna.com/"> <span style="font-weight: bold;">Dakwatuna.com</span></a></span><span style="font-style: italic;"><a href="http://www.dakwatuna.com/"><br /><br />”</a><span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">B</span></span>ukan
daging-daging unta dan darahnya itu yang dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…”</span> (Al-Hajj: 37)<br />
<a name='more'></a><br /><br />Maha
Agung Allah yang Menciptakan kehidupan dengan segala kelengkapannya.
Ada kelengkapan pokok, ada juga yang cuma hiasan. Sayangnya, tak sedikit
manusia yang terkungkung pada jeratan kelengkapan aksesoris.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Berkurbanlah, Anda akan menjadi yang paling kaya</span><br /><br />Logika
sederhana manusia kerap mengatakan kalau memberi berarti terkurangi.
Seseorang yang sebelumnya punya lima mangga misalnya, akan berkurang
jika ia memberikan dua mangga ke orang lain. Logika inilah yang akhirnya
menghalangi orang untuk berkurban.<br /><span class="fullpost"><br />Jika
bukan karena iman yang dalam, logika ini akan terus bercokol dalam hati.
Ia akan terus menenggelamkan manusia dalam kehidupan yang sempit,
hingga ajal menjemput. Sulit menerjemahkan sebuah pemberian sebagai
keuntungan. Sebaliknya, pemberian dan pengorbanan adalah sama dengan
pengurangan.<br /><br />Rasulullah saw. mengajarkan logika yang berbeda.
Beliau saw. mengikis sifat-sifat kemanusiaan yang cinta kebendaan
menjadi sifat mulia yang cinta pahala. Semakin banyak memberi, orang
akan semakin kaya. Karena kaya bukan pada jumlah harta, tapi pada
ketinggian mutu jiwa.<br /><br />Rasulullah saw. mengatakan, <span style="font-style: italic;">“Yang dinamakan kekayaan bukanlah banyaknya harta benda. Tetapi, kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa (hati).” </span>(HR. Abu Ya’la)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Berkurbanlah, Anda akan menjadi orang sukses</span><br /><br />Sukses
dalam hidup adalah impian tiap orang. Tak seorang pun yang ingin hidup
susah: rezeki menjadi sempit, kesehatan menjadi langka, dan ketenangan
cuma dalam angan-angan. Hidup seperti siksaan yang tak kunjung usai.
Semua langkah seperti selalu menuju kegagalan. Buntu.<br /><br />Namun, tak
sedikit yang cuma berputar-putar pada jalan yang salah. Padahal, rumus
jalan bahagia sangat sederhana. Di antaranya, kikis segala sifat kikir,
Anda akan menemukan jalan hidup yang serba mudah.<br /><br />Allah swt. berfirman, <span style="font-style: italic;">“Ada
pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan ada pun yang bakhil dan merasa
dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami
akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” </span>(Al-Lail: 5-10)<br /><br />Kalau
jalan hidup menjadi begitu mudah, semua halangan akan terasa ringan.
Inilah pertanda kesuksesan hidup seseorang. Semua yang dicita-citakan
menjadi kenyataan. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, <span style="font-style: italic;">“…dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang sukses.” </span>(Al-Hasyr: 9)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Berkurbanlah, Anda akan sangat dekat dengan Yang Maha Sayang</span><br /><br />Sebenarnya, Allah sangat dekat dengan hamba-hambaNya melebihi dekatnya sang hamba dengan urat lehernya. <span style="font-style: italic;">“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya.” (Qaaf: 16)</span><br /><br />Namun, ketika ada hijab atau
dinding, yang dekat menjadi terasa sangat jauh. Karena hijab, sesuatu
menjadi tak terlihat, tak terdengar, bahkan tak terasa sama sekali. Dan
salah satu hijab yang kerap menghalangi kedekatan seorang hamba dengan
Penciptanya adalah kecintaan pada harta.<br /><br />Islam tidak mengajarkan
umatnya untuk tidak berharta. Atau, menjadi miskin dulu agar bisa dekat
dengan Allah swt. Tentu bukan itu. Tapi, bagaimana meletakkan harta atau
fasilitas hidup lain cuma di tangan saja. Bukan tertanam dalam hati.
Dengan kata lain, harta cuma sebagai sarana. Bukan tujuan.<br /><br />Karena
itu, perlu pembiasaan-pembiasaan agar jiwa tetap terdidik. Dan salah
satu pembiasaan itu adalah dengan melakukan kurban. Karena dari segi
bahasa saja, kurban berasal dari kata qoroba-yaqrobu-qurbanan artinya
pendekatan. Berkurban adalah upaya seorang hamba Allah untuk mengikis
hijab-hijab yang menghalangi kedekatannya dengan Yang Maha Sayang.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Berkurbanlah, Anda akan menjadi yang paling dicintai</span><br /><br />Setiap
cinta butuh pengorbanan. Kalau ada orang yang ingin dicintai orang lain
tanpa memberikan pengorbanan, sebenarnya ia sedang memperlihatkan cinta
palsu. Cinta ini tidak pernah abadi. Cuma bergantung pada sebuah
kepentingan sementara.<br /><br />Allah swt. Maha Tahu atas isi hati
hamba-hambaNya. Mana yang benar-benar mencintai, dan mana yang cuma
main-main. Dan salah satu bentuk keseriusan seorang hamba Allah dalam
mencari cinta Yang Maha Pencinta adalah dengan melakukan pengorbanan.
Bisa berkorban dengan tenaga, pikiran, dan harta di jalan Allah. Dan
sebenarnya, pengorbanan itu bukan untuk kepentingan Allah. Allah Maha
Kaya. Justru, pengorbanan akan menjadi energi baru bagi si pelaku itu
sendiri.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-12666129676965708392012-04-07T10:14:00.000-07:002012-04-07T10:14:00.895-07:00SILATURRAHIM : MENYIRAM POHON PERSAUDARAAN<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;">
<img height="323" id="il_fi" src="http://purwantosoemarto.files.wordpress.com/2010/08/silaturahmi.png" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="495" /></div>
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"> Gambar Ilustrasi </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;">Sumber Gambar: http://purwantosoemarto.wordpress.com/2010/08/21/kultum-silaturahmi/</span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;">Oleh: </span><span style="font-size: 85%; font-weight: bold;">Muhammad Nuh</span><span style="font-size: 85%;"><br />Sumber: <a href="http://www.dakwatuna.com/">Dakwatuna</a></span><br /><br /><span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">P</span></span>ersaudaraan
kadang seperti tingkah dahan-dahan yang ditiup angin. Walau satu pohon,
tak selamanya gerak dahan seiring sejalan. Adakalanya seirama, tapi tak
jarang berbenturan. Tergantung mana yang lebih kuat: keserasian batang
dahan atau tiupan angin yang tak beraturan.</div>
<a name='more'></a>Indahnya
persaudaraan. Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang
terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama
persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan
kekuatan politik umat.<br /><img height="400" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJOZJZ3PqOOhS9H2amx8lQl9dHmgxvq0k6aAgiHJy9Z3mD1J3umjJbMUWD62YOZvruvU6LRA9qYP3Liw6pR1mzn-_DXLQ6Rgjm4AFgUFez0OPW70qSvDtzZg0OI-pr3g__TZ16rNBB19YV/s400/silaturahmi1.gif" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="350" /><br />Sumber Gambar:http://bougezte.blogspot.com/2008/10/silaturahmi-apa-pentingnya.html <br />
<br />
Namun, pernik-pernik lapangan kehidupan
nyata kadang tak seindah idealita. Ada saja khilaf, salah paham, friksi,
yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol.
Ketidakharmonisan pun terjadi. Kebencian terhadap sesama saudara pun tak
terhindarkan.<br /><br />Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi
persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi
kerinduan. Sebaliknya, ada kekecewaan dan kebencian. Suatu hal yang
sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam.<br /><br />Lebih
repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan
persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet.
Penyebarannya bisa horisontal atau ke samping, bisa juga vertikal atau
atas bawah. Para orang tua yang berseteru, anak cucu pun bisa ikut
kebagian.<br />
<br />
<img height="333" id="il_fi" src="http://salafiyunpad.files.wordpress.com/2011/08/silaturahmi.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="512" /><br /><span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost">Sumber Gambar: http://salafiyunpad.wordpress.com/2011/08/24/silaturahmi-lebaran/<br /> </span><br />
<span class="fullpost">Rasulullah saw. pernah mengingatkan itu dalam sabdanya, <span style="font-style: italic;">“Cinta bisa berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian.” </span>(HR. Al-Bukhari)<br /><br />Waktu
memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan
menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang
menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan
kerinduan pun menindaklanjuti.<br /><br />Kalau berhenti sampai di situ,
bisa jadi, perdamaian cuma datang dari satu pihak. Karena belum tentu,
waktu bisa menjadi solusi buat pihak lain. Kalau pun bisa, sulit
memastikan bertemunya dua kesadaran dalam rentang waktu yang tidak
begitu jauh.<br /><br />Perlu ada cara lain agar kesadaran dan perdamaian
bertemu dalam waktu yang sama. Dan silaturahim adalah salah satunya.
Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman,
kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin.<br /><br />Dengan
nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat
tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, <span style="font-style: italic;">“Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” </span>(Muttafaq ‘alaih)<br /><br />Menarik
memang tawaran Rasul tentang manfaat silaturahim: luasnya rezeki dan
umur yang panjang. Dua hal tersebut merupakan simbol kenikmatan hidup
yang begitu besar. Bumi menjadi begitu luas, damai, dan nyaman.
Sehingga, kehidupan pun menjadi sangat berarti.<br /><br />Masalahnya, tidak
mudah menggerakkan hati untuk berkunjung ke orang yang pernah dibenci.
Mungkin masih terngiang seperti apa sakitnya hati. Begitu berat beban
batin. Berat. Terlebih ketika setan terus mengipas-ngipas bara luka
lama. Saat itulah, setan memposisikan diri seseorang sebagai pihak yang
patut dikunjungi. Bukan yang mengunjungi. Kalau saja bukan karena rahmat
Allah, seorang mukmin bisa lupa kalau ‘izzah bukan untuk sesama mukmin.
Tapi, buat orang kafir.<br /><br />Firman Allah swt. <span style="font-style: italic;">“Hai
orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap adzillah
(lemah lembut) terhadap orang mukmin, yang bersikap ‘izzah (keras)
terhadap orang-orang kafir….</span>” (QS. 5: 54)<br /><br />Setidaknya, ada
tiga persiapan yang mesti diambil agar silaturahim tidak terasa berat.
Pertama, murnikan keinginan bersilaturahim hanya karena Allah. Ikatan
hati yang terjalin antara dua mukmin adalah karena anugerah Allah.
Ikatan inilah yang menembus beberapa hati yang berbeda warna menjadi
satu cita dan rasa. Sebuah ikatan yang sangat mahal.<br /><br />Maha Benar Allah dalam firman-Nya,<span style="font-style: italic;">
“dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun
kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka….” </span>(QS. Al-Anfal: 63)<br /><br />Jangan
pernah selipkan maksud-maksud lain dalam silaturahim. Karena di situlah
celah setan memunculkan kekecewaan. Ketika maksud itu tak tercapai,
silaturahim cuma sekadar basa-basi. Silaturahim tinggallah silaturahim,
tapi hawa permusuhan tetap ada.<br /><br />Kedua, cintai saudara seiman
sebagaimana mencintai diri sendiri. Inilah salah satu cara mengikis ego
diri yang efektif. Ketika tekad ini terwujud, yang terpikir adalah
bagaimana agar bisa memberi. Bukan meminta. Apalagi menuntut.<br /><br />Akan
muncul dalam nurani yang paling dalam bagaimana bisa memberi sesuatu
kepada saudara seiman. Termasuk, memberi maaf. Meminta maaf memang
sulit. Dan, akan lebih sulit lagi memberi maaf.<br /><br />Hal inilah yang paling sulit dalam tingkat keimanan seseorang. Rasulullah saw. bersabda, <span style="font-style: italic;">“Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”</span><br /><br />Ketiga,
bayangkan kebaikan-kebaikan saudara yang akan dikunjungi, bukan
sebaliknya. Kerap kebencian bisa menihilkan kebaikan orang lain.
Timbangan diri menjadi tidak adil. Kebaikan yang bertahun-tahun bisa
terhapus dengan kesalahan semenit.<br /><br />Maha Benar Allah dalam firmanNya, <span style="font-style: italic;">“…Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa….”</span> (QS. 5: 8 )<br /><br />Tak ada yang pernah dirugikan
dari silaturahim. Kecuali, tiupan angin ego yang selalu ingin
dimanjakan. Karena, ulahnya tak lagi membuat tangkai-tangkai dahan
berbenturan.<br /></span><img height="299" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHVki2gcKcIY6qXXWD5fCLi2dhDOG_5u3sql3-fMFvA7kdXx-GJwtO1J9KGgY15PdwyYT82RpJijyoc7lkbqSi7bFRo49axYjShdeXjXEMf7uQrncCUjaWEXgiirDEfYVl8OHhYiWGHuc/s1600/silaturahmi-300x299.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="300" /><br />
Sumber Gambar: http://elbaraka-kaligrafi.blogspot.com/2012/02/keutamaan-silaturahmi.html<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-43387798828496668892012-04-05T10:50:00.000-07:002012-04-05T10:50:12.114-07:00JIKA PUNYA KESEMPATAN, MEMBACALAH!<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img height="311" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgy0J4t7B4j5AhkgiT5jEdrynlpx9qz4HoR41iIiCKPUwHsRftn1js0evYuqEjaVT4WtPJ3KEnCnXwbI12H859tFIPEQWlG7Qz7o4xMjjfaQVx136elUbbHYFSNSBvfvH4iByNgQql7bw/s1600/baby-reading.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="363" /> </div>
<div style="text-align: center;">
Gambar Ilustrasi </div>
<div style="text-align: center;">
Sumber Gambar: http://fianzoner.blogspot.com/2011/01/manfaat-membaca.html</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
Oleh <span style="font-weight: bold;">Muhammad Nuh</span><br />Sumber: <a href="http://www.dakwatuna.com/2008/jika-punya-kesempatan-membacalah/"><span style="font-weight: bold;">Dakwatuna</span></a><br />“<span style="font-size: 180%; font-weight: bold;">S</span>iapa merintis jalan mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (Muslim)</div>
<a name='more'></a><span style="font-weight: bold;">Ada posisi khusus untuk mereka yang berilmu</span><br /><br />Ada
kemuliaan tersendiri yang Allah berikan buat orang yang berilmu. Di
dunia dan akhirat. Ia bisa lebih mulia dari mereka yang banyak harta dan
tinggi jabatan. Bahkan, lebih mulia dari ahli ibadah sekalipun.<br /><br />Rasulullah
saw. bersabda, “Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid
(ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang.” (Abu
Dawud)<br /><br />Bahkan, Alquran menjelaskan bahwa orang yang paling takut
pada Allah adalah para ulama. Tentunya, mereka yang memahami kebesaran
dan kekuasaan Allah swt. “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…” (Fathir: 28)<br /><br />Begitu
tingginya penghargaan buat mereka yang berilmu. Khusus mereka yang
tergolong pakar dalam Alquran, ada kemuliaan tersendiri. Dan kemuliaan
itu mereka dapat saat bertemu Allah kelak di hari pembalasan.<br /><br /><span class="fullpost">Rasulullah
saw bersabda, “Seorang mukmin yang pandai membaca Alquran akan bersama
malaikat yang mulia lagi berbakti….” (Bukhari dan Muslim)<br /><br />Dalam
hadits lain Rasulullah saw. mengatakan kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar,
kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah lebih baik bagimu dari
shalat (sunnah) seratus rakaat. Dan, pergi mengajarkan satu bab ilmu
pengetahuan, dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari shalat seribu
rakaat.” (Ibnu Majah)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Seperti apapun kita hidup, taka ada yang tanpa ilmu</span><br /><br />Hidup
dan pengetahuan nyaris tak bisa dipisahkan. Sulit membayangkan jika
kehidupan ditelusuri tanpa pengetahuan. Ruang-ruang kehidupan menjadi
begitu gelap. Dan jalan yang akan ditempuh pun tampak bercabang-cabang.<br /><br />Itulah
kenapa Islam mewajibkan umatnya menuntut ilmu. Rasulullah saw.
mengatakan, “Menuntut ilmu wajib buat tiap muslim (laki dan perempuan).”
(Ibnu Majah)<br /><br />Dari situ bisa dipahami bahwa Islam menginginkan
umatnya hidup bahagia. Dunia dan akhirat. Karena tak satu kebahagiaan
pun di dunia ini yang bisa diraih tanpa ilmu. Mulai dari profesi yang
menghasilkan uang, hingga pada pengokohan status hidup sendiri.
Keberadaan sebuah keluarga misalnya, sulit bisa harmonis jika tanpa ilmu
seni berkeluarga. Begitu pun pada yang lain: sebagai manusia, mukmin,
warga negara, dan warga dunia. Jika status-status ini tidak disertai
ilmu, orang akan menjadi korban pembodohan dan penzaliman.<br /><br />Belum
lagi persiapan menyongsong kehidupan akhirat. Tentu lebih banyak butuh
ilmu. Karena kehidupan tak lain sebagai ladang amal buat akhirat. Gagal
hidup di dunia bisa menggiring kecelakaan di akhirat. Na’udzubillah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Jika mau, selalu ada cara</span><br /><br />Persoalan
sukses-tidaknya seseorang mencari ilmu ternyata bukan sekadar masalah
biaya. Bukan juga kesempatan. Tapi, lebih pada kemauan. Inilah kendala
berat siapa pun yang ingin sukses.<br /><br />Rasulullah saw. mengajarkan
para sahabat untuk selalu berlindung pada Allah dari sifat malas. “Ya
Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan gelisah, dari
kelemahan dan kemalasan….”<br /><br />Inilah di antara penyakit mental umat
Islam saat ini yang sangat bahaya. Malas bukan hanya merugikan diri si
pelaku, melainkan juga orang lain. Bisa anggota keluarga, bawahan, dan
lain-lain. Karena malas, seseorang atau sebuah kumpulan masyarakat bisa
kehilangan momentum perubahan yang Allah pergilirkan.<br /><br />Dalam pola
konsumsi misalnya, orang lebih senang mengalokasikan uangnya buat jajan
ketimbang ilmu. Harga bakso di Jakarta bisa lima kali harga koran. Tapi,
tetap saja tidak sedikit yang lebih memilih bakso daripada menyisihkan
dana jajannya buat pengetahuan.<br /><br />Jangankan yang dengan biaya.
Majelis taklim mana di Indonesia yang ikut harus dengan biaya. Semua
gratis. Dapat ilmu, pahala, bahkan hidangan konsumsi; tapi tetap saja
majelis taklim sepi peminat.<br /><br />Jadi, yang mahal dalam modal
perubahan adalah kemauan. Dari sinilah Allah memberikan jalan keluar.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, <span style="font-style: italic;">“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.</span>” (Al-Ankabut: 69)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Jika ada kesempatan, membacalah</span><br /><br />Ketika
ada kemauan mengejar target sesuatu, kadang terbayang cara-cara yang
jelimet. Sulit. Dan akhirnya tidak terjangkau. Begitu pun dalam mengejar
ilmu pengetahuan. Yang biasa terbayang adalah kursus, beli referensi,
privat, dan bentuk program lain yang enak dilalui tapi sulit ditempuh.
Apalagi berhubungan dengan biaya.<br /><br />Padahal, pintu ilmu yang paling
dasar adalah membaca. Dan persoalan membaca tidak melulu berhubungan
dengan biaya. Memang, buku di Indonesia masih tergolong mahal. Tapi,
masih banyak cara agar membaca tidak menyedot isi kantong. Bisa lewat
perpustakaan, patungan beli buku bersama teman, diskusi majalah, dan
sebagainya.</span> </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-29118398770603936872012-04-04T07:58:00.004-07:002012-04-05T10:51:25.703-07:00MENCARI KESEGARAN HATI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<img height="320" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtklD-0SV_aC40HcFV85sGiR4sXBban4g0PHqwKQR0lhXG2KvPufEIal-q5Q1kWwO0elUHiRACab3ZdxE9G-NInJHaMaofLwod2nQ8uC9g0sFkvqthbvQJVbqy5TmwGXKNoK_srzC1-7eL/s320/air-cinta.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="240" /><span style="font-size: 85%;"> </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;">Gambar Ilustrasi </span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"> Sumber: http://fahmishidiq.blogspot.com/2010/08/6-tipe-hati.html</span></div>
<br />
<span style="font-size: 85%;">Oleh <span style="font-weight: bold;">Muhammad Nuh</span><br />Sumber: <a href="http://www.dakwatuna.com/2008/mencari-kesegaran-hati/"><span style="font-weight: bold;">Dakwatuna</span></a></span><br />
<br />
“<span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">A</span></span>gama ini kokoh dan kuat. Masukilah dengan lunak, dan jangan sampai timbul kejenuhan dalam beribadah kepada Rabbmu.” (Al-Baihaqi)<br />
<a name='more'></a>Maha
Suci Allah yang mempergilirkan siang dan malam. Kehidupan pun menjadi
dinamis, seimbang, dan berkesinambungan. Ada hamba-hamba Allah yang
menghidupkan siang dan malamnya untuk senantiasa dekat dengan Yang Maha
Rahman dan Rahim. Tapi, tidak sedikit yang akhirnya menjauh, dan terus
menjauh.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Seperti halnya tanaman, ruhani butuh siraman</span><br />
<br />
Sekuat
apa pun sebatang pohon, tidak akan pernah bisa lepas dari
ketergantungan dengan air. Siraman air menjadi energi baru buat pohon.
Dari energi itulah pohon mengokohkan pijakan akar, meninggikan batang,
memperbanyak cabang, menumbuhkan daun baru, dan memproduksi buah.<br />
<br />
<span class="fullpost">Seperti
itu pula siraman ruhani buat hati manusia. Tanpa kesegaran ruhani,
manusia cuma sebatang pohon kering yang berjalan. Tak ada keteduhan,
apalagi buah yang bisa dimanfaatkan. Hati menjadi begitu kering. Persis
seperti ranting-ranting kering yang mudah terbakar.<br /><br />Allah swt.
memberikan teguran khusus buat mereka yang beriman. Dalam surah Al-Hadid
ayat 16, Yang Maha Rahman dan Rahim berfirman,<span style="font-style: italic;">
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk
hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka). Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang
panjang atas mereka. Lalu, hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di
antara mereka adalah orang-orang yang fasik</span>.”<br /><br />Hati buat
orang-orang yang beriman adalah ladang yang harus dirawat dan disiram
dengan zikir. Dari zikirlah, ladang hati menjadi hijau segar dan tumbuh
subur. Akan banyak buah yang bisa dihasilkan. Sebaliknya, jika hati jauh
dari zikir; ia akan tumbuh liar. Jangankan buah, ladang hati seperti
itu akan menjadi sarang ular, kelabang dan sebagainya.<br /><br />Hamba-hamba
Allah yang beriman akan senantiasa menjaga kesegaran hatinya dengan
lantunan zikrullah. Seperti itulah firman Allah swt. dalam surah Ar-Ra’d
ayat 28. “<span style="font-style: italic;">(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram</span>.“<br /><br />Rasulullah
saw. pernah memberi nasihat, “Perumpamaan orang yang berzikir kepada
Rabbnya dan yang tidak, seumpama orang hidup dan orang mati.” (Bukhari
dan Muslim)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Siapapun kita, ada masa lengahnya</span><br /><br />Manusia
bukan makhluk tanpa khilaf dan dosa. Selalu saja ada lupa. Ketika
ruhani dan jasad berjalan tidak seimbang, di situlah berbagai kealpaan
terjadi. Saat itulah, pengawasan terhadap nafsu menjadi lemah.<br /><br />Imam
Ghazali mengumpamakan nafsu seperti anak kecil. Apa saja ingin diraih
dan dikuasai. Ia akan terus menuntut. Jika dituruti, nafsu tidak akan
pernah berhenti.<br /><br />Pada titik tertentu, nafsu bisa menjadi dominan.
Bahkan sangat dominan. Nafsu pun akhirnya memegang kendali hidup
seseorang. Nalar dan hatinya menjadi lumpuh. Saat itu, seorang manusia
sedang menuhankan nafsunya.<br /><br />Allah swt. berfirman, “<span style="font-style: italic;">Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya</span>.” (Al-Jatsiyah: 23)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Seburuk apapun seorang muslim, ada pintu kebaikannya</span><br /><br />Seperti
halnya manusia lain, seorang muslim pun punya nafsu. Bedanya, nafsu
orang yang beriman lebih terkendali dan terawat. Namun, kelengahan bisa
memberikan peluang buat nafsu untuk bisa tampil dominan. Dan seorang
hamba Allah pun melakukan dosa.<br /><br />Dosa buat seorang mukmin seperti
kotoran busuk. Dan shalat serta istighfar adalah di antara pencuci. Kian
banyak upaya pencucian, kotoran pun bisa lenyap: warna dan baunya.<br /><br />Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran ayat 133 hingga135. “<span style="font-style: italic;">Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa….Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah. Lalu, memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui</span>.“<br /><br />Khilaf buat hamba
Allah seperti mata air yang tersumbat. Dan zikrullah adalah pengangkat
sumbat. Ketika zikrullah terlantun dan tersiram dalam hati, air jernih
pun mengalir, menyegarkan wadah hati yang pernah kering.<br /><br />Sekecil Apapun kebaikan dan keburukan, ada ganjarannya<br /><br />Satu
hal yang bisa menyegarkan kesadaran ruhani adalah pemahaman bahwa apa
pun yang dilakukan manusia akan punya balasan. Di dunia dan akhirat. Dan
di akhirat ada balasan yang jauh lebih dahsyat.<br /><br />Firman Allah swt., “<span style="font-style: italic;">Siapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula</span>.” (Al-Zilzaal: 7-8)<br /><br />Pemahaman
inilah yang senantiasa membimbing hamba Allah untuk senantiasa beramal.
Keimanannya terpancar melalui perbuatan nyata. Lantunan zikirnya hidup
dalam segala keadaan.<br /><br />“<span style="font-style: italic;">(Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka</span>.” (Ali Imran: 191)</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-82721715814150303202012-02-08T07:09:00.000-08:002012-02-08T07:09:22.991-08:00MENJUAL WAKTU DENGAN PAHALA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"> </span><img height="498" id="il_fi" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYHHvrYH7k85wBoxtJ_MrqzPYsv_w9bt9m72Ow1sYyjpUvBcNxB5zTbesoixTXBrU1_KPog5WxE6K3Otv7hOhAQEeZIwyoVbplXRz_LkfP0_CJy9rcsrcawVMvGTuQ60b8kaq0Iejh3wU/s1600/waktu9_4.JPG" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="616" /></div>
<br />
<span style="font-size: 85%;">Oleh <span style="font-weight: bold;">Muhammad Nuh</span><br />Sumber: <a href="http://www.dakwatuna.com/2008/menjual-waktu-dengan-pahala/"><span style="font-weight: bold;">Dakwatuna</span></a></span><span style="font-style: italic;"><br /><br />“<span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">B</span></span>elumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah
diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik.”</span> (Al-hadid: 16)<br />
<a name='more'></a><br /><br />Maha
Suci Allah yang menggantikan malam dengan siang dan sore pun
menyongsong malam. Hari berlalu menyusun pekan. Hitungan bulan-bulan pun
membentuk tahun. Tanpa terasa, pintu ajal kian menjelang. Sementara,
peluang hidup tak ada siaran ulang.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Siap atau tidak, waktu pasti akan meninggalkan kita</span><br /><br />Sejauh
apa pun satu tahun ke depan jauh lebih dekat daripada satu detik yang
lalu. Karena waktu yang berlalu, walaupun satu detik, tidak akan bisa
dimanfaatkan lagi. Ia sudah jauh meninggalkan kita.<br /><br />Begitu pun
dengan berbagai kesempatan yang kita miliki. Pagi ini adalah pagi ini.
Kalau datang siang, ia tidak akan pernah kembali. Kalau kesempatan di
pagi ini lewat, hilang sudah momentum yang bisa diambil. Karena, belum
tentu kita bisa berjumpa dengan pagi esok.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Itulah
yang pernah menggugah Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, karena sangat
lelah, Umar menolak kunjungan seorang warga. “Esok pagi saja!” ucapnya
spontan. Khalifah Umar berharap esok pagi ia bisa lebih segar sehingga
urusan bisa diselesaikan dengan baik.<br /><br />Tapi, sebuah ucapan tak
terduga tiba-tiba menyentak kesadaran Khalifah kelima ini. Warga itu
mengatakan, “Wahai Umar, apakah kamu yakin akan tetap hidup esok pagi?”
Deg. Umar pun langsung beristighfar. Saat itu juga, ia menerima
kunjungan warga itu.<br /><br />Kalau kita menganggap remeh sebuah ruang
waktu, sebenarnya kita sedang membuang sebuah kesempatan. Kalau pergi,
kesempatan tidak akan kembali. Ia akan pergi bersama berlalunya waktu.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.”
(Al-Ashr: 1-2)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Siap atau tidak, jatah waktu kita terus berkurang</span><br /><br />Ketika
seseorang sedang merayakan hari ulang tahun, sebenarnya ia sedang
merayakan berkurangnya jatah usia. Umurnya sudah berkurang satu tahun.
Atau, hari kematiannya lebih dekat satu tahun. Dalam skala yang lebih
luas, pergantian tahun adalah berarti berkurangnya umur dunia. Atau,
hari kiamat lebih dekat satu tahun dibanding tahun lalu.<br /><br />Ketika
jatah-jatah waktu itu terus berkurang, peluang kita semakin sedikit.
Biasanya, penyesalan datang belakangan. “Dan pada hari itu diperlihatkan
neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak
berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya
kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”
(Al-Fajr: 23-24)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tak banyak yang sadar, begitu banyak peluang menghilang</span><br /><br />Kadang,
seseorang menganggap biasa mengisi hari-hari dengan santai, televisi,
dan berbagai mainan. Bahkan ada yang bisa berjam-jam bersibuk-sibuk
dengan video game. Sedikit pun tak muncul rasa kehilangan. Apalagi
penyesalan.<br /><br />Padahal kalau dihitung, amal kita akan terlihat
sedikit jika dibanding dengan kesibukan rutin lain. Dengan usia tiga
puluh tahun, misalnya. Selama itu, jika tiap hari seorang tidur delapan
jam, ternyata ia sudah tidur selama 87.600 jam. Ini sama dengan 3.650
hari, atau selama sepuluh tahun. Dengan kata lain, selama tiga puluh
tahun hidup, sepertiganya cuma habis buat tidur.<br /><br />Jika orang itu
menghabiskan empat jam buat nonton televisi, setidaknya, ia sudah
menonton televisi selama 43.200 jam. Itu sama dengan 1.800 hari, atau
lima tahun. Bayangkan, dari tiga puluh tahun hidup, lima tahun cuma
habis buat nonton teve. Belum lagi urusan-urusan lain. Bisa ngobrol,
curhat, ngerumpi, jalan-jalan, dan sebagainya.<br /><br />Lalu, berapa
banyak porsi waktunya buat ibadah? Kalau satu salat wajib menghabiskan
waktu sepuluh menit, satu hari ia salat selama lima puluh menit.
Ditambah zikir dan tilawah selama tiga puluh menit, ia beribadah selama
delapan puluh menit per hari. Jika dikurangi sepuluh tahun karena usia
kanak-kanak, ia baru beribadah selama 1.600 jam. Atau, 1,8 persen dari
waktu tidur. Atau, 3,7 persen dari lama nonton teve.<br /><br />Betapa
banyak peluang yang terbuang. Betapa banyak waktu berlalu tanpa nilai.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan menetapi kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tak seorang pun tahu, kapan waktunya berakhir</span><br /><br />Tiap
yang bernyawa pasti mati. Termasuk, manusia. Kalau dirata-rata, usia
manusia saat ini tidak lebih dari enam puluhan tahun. Atau, setara
dengan dua belas kali pemilu di Indonesia. Waktu yang begitu sedikit.<br /><br />Saatnya
buat orang-orang beriman memaknai waktu. Biarlah orang mengatakan waktu
adalah uang. Orang beriman akan bilang, “Waktu adalah pahala!”</span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-69479466394475087882012-01-27T06:28:00.000-08:002012-01-27T06:28:02.663-08:00MUSUH YANG BERENANG DI AIR TENANG<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"> </span><img id="il_fi" src="http://gambarsuper.files.wordpress.com/2010/09/pengertian-ekosistem-7.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" /></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;">sumber gambar: http://ridwanaz.com/umum/biologi/pengertian-ekosistem-susunan-dan-macam-ekosistem/</span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;">Oleh <strong>Muhammad Nuh</strong><br />Sumber :<strong> dakwatuna.com</strong></span><strong><span style="font-size: 180%;"><br />S</span></strong>eorang
mukmin hidupnya kadang mirip peladang. Tak pernah lelah membuka lahan,
menanam benih, merawat, menjaga, dan akhirnya menikmati indahnya tanaman
yang mulai berbuah. Tapi, jangan pernah menanggalkan parang. Karena
dalam kebun juga ada ular, babi hutan, dan anjing liar.</div>
<a name='more'></a><br /><br />Keimanan
merupakan anugerah Allah yang begitu mahal. Hidup yang keras bisa
terlalui dengan tenang, nyaman, dan penuh harapan. Sesulit apa pun
kehidupan seorang mukmin, ia tetap punya harapan hari esok yang sangat
membahagiakan.<br /><br />Namun, bukanlah iman yang tanpa ujian. Iman bukan
sebuah jaminan kalau seorang anak manusia bisa hidup tanpa gangguan.
Bukan seperti tiket busway yang bisa memberi jaminan bebas macet di saat
padatnya lalu lintas kota. Justru, kian melekat nilai keimanan pada
diri seseorang, semakin banyak cobaan dan gangguan.<span class="fullpost"><br /><br /><i>“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami
telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh kami telah
menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan yang dusta.” </i>(Al-Ankabut: 2-3)<br /><br />Seorang
mukmin mungkin bisa tahan dengan duri-duri jalan hidup. Sabar dan terus
istiqamah. Tapi, akan beda jika tusukan tidak lagi sekecil duri.
Melainkan, sudah berbentuk belati dan pedang.<br /><br />Ujian ternyata
tidak cuma berhenti pada konflik internal diri. Tidak berhenti pada
berkecamuknya perang antara tuntutan naluri insani dengan pagar
keimanan. Lebih dari itu. Ada musuh-musuh yang senantiasa mengintai.
Siang dan malam. Di saat damai, apalagi perang.<br /><br />Maha Benar Allah dalam firman-Nya:<i>
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang
mereka ada-adakan.” </i>(Al-An’am: 112)<br /><br />Setidaknya, ada tiga
kelompok musuh yang kerap mengganggu keteguhan seorang yang beriman.
Pertama, musuh bebuyutan Islam. Dikatakan bebuyutan karena permusuhan
ini turun temurun. Terwarisi dari generasi ke generasi. Mereka tidak
akan pernah senang hingga orang-orang beriman pindah keyakinan.<br /><br />Tergolong
dalam kelompok ini adalah Yahudi dan Nasrani. Permusuhannya bersifat
laten dan abadi. Itulah firman Allah swt. dalam surah Al-Baqarah ayat
120. <i>“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.</i>“<br /><br />Ada
dengki abadi yang sulit disembuhkan. Ada semacam gugatan kepada Allah
yang dilampiaskan ke umat Islam. Mereka menggugat, kenapa kenabian
terakhir jatuh ke orang Arab. Bukan Bani Israil seperti yang selama ini
berlangsung. <i>“Sebagian Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki
yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran.…”</i> (Al-Baqarah: 109)<br /><br />Segala hal mereka lakukan.
Mulai dari yang terlihat damai, hingga langsung berupa peperangan. Para
pemikir sesat, dari yang berjenis Salman Rusdi hingga yang shalat dua
bahasa, selalu terkait dengan sepak terjang Yahudi dan Nasrani beserta
jaringannya. Semua itu punya sasaran tembak khusus. Apalagi kalau bukan
menggoyahkan keimanan umat Islam.<br /><br />Kelompok musuh kedua adalah
mereka yang punya kepentingan. Kelompok ini agak lebih unik. Mereka
heterogen. Bisa datang dari mana pun. Tidak terang-terangan dan
konsisten memusuhi umat Islam. Tidak juga turun temurun seperti
permusuhan Yahudi dan Nasrani. Tapi, lebih karena perbedaan kepentingan.<br /><br />Biasanya,
yang masuk dalam kelompok ini adalah para pelaku maksiat: koruptor,
pezina, dukun, dan mereka yang tak punya agama. Masuk juga mereka yang
mengambil untung dari bisnis maksiat.<br /><br />Hal itulah yang pernah
dialami kaum Nabi Luth. Mereka mengusir dan memusuhi Luth dan
pengikutnya bukan karena soal keyakinan. Melainkan, soal kepentingan.<i>
“Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan, ‘Usirlah mereka (Luth dan
pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”</i> (Al-A’raf: 82)<br /><br />Jadi,
jangan pernah menganggap kalau ingin hidup bersih tidak mengundang
musuh. Terlebih jika bersih dalam cakupan besar: masyarakat dan negara.
Tentu ini akan mengancam kepentingan kekuatan kotor di lingkungan yang
sama. Dan tak ada langkah lain buat mereka kecuali memusuhi.<br /><br />Andai
umat Islam seperti peladang. Tentu, indahnya suasana damai tidak lantas
memutus urat kewaspadaan. Itulah mungkin, kenapa para peladang tidak
akan menanggalkan parang.</span><span class="fullpost"><br /></span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-65750374446633405242012-01-26T10:59:00.000-08:002012-01-26T10:59:18.685-08:00SELALU ADA DEBU DOSA<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%; font-weight: bold;"> </span><img height="240" id="il_fi" src="http://tunashijau.org/wp-content/uploads/2011/08/debu1.jpg" style="padding-bottom: 8px; padding-right: 8px; padding-top: 8px;" width="320" /></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%; font-weight: bold;">ilustrasi gambar debu </span></div>
<br />
<span style="font-size: 85%; font-weight: bold;">Oleh Muhammad Nuh<br />Sumber : <a href="http://www.dakwatuna.com/2008/selalu-ada-debu-dosa/">Dakwatuna</a></span><br /><br /><span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">D</span></span>osa
tak ubahnya seperti tiupan angin di tanah berdebu. Wajah terasa sejuk
sesaat, tapi butiran nodanya mulai melekat. Tanpa terasa, tapi begitu
berbekas. Kalau saja tak ada cermin, orang tak pernah mengira kalau ia
sudah berubah.<br />
<a name='more'></a><br /><br />Perjalanan hidup memang penuh debu. Sedikit, tapi
terus dan pasti; butiran-butiran debu dosa kian bertumpuk dalam diri.
Masalahnya, seberapa peka hati menangkap itu. Karena boleh jadi, mata
kepekaan pun telah tersumbat dalam gundukan butiran debu dosa yang mulai
menggunung.<br /><br /><span class="fullpost">Seorang mukmin saleh mungkin
tak akan terpikir akan melakukan dosa besar. Karena hatinya sudah
tercelup dengan warna Islam yang teramat pekat. Jangankan terpikir,
mendengar sebutan salah satu dosa besar saja, tubuhnya langsung
merinding. Dan lidah pun berucap, “Na’udzubillah min dzalik!”<br /><br />Namun,
tidak begitu dengan dosa-dosa kecil. Karena sedemikian kecilnya, dosa
seperti itu menjadi tidak terasa. Terlebih ketika lingkungan yang redup
dengan cahaya Ilahi ikut memberikan andil. Dosa menjadi biasa.<br /><br />Rasulullah saw. bersabda, <span style="font-style: italic;">“Jauhilah dosa-dosa kecil, karena jika ia terkumpul pada diri seseorang, lambat laun akan menjadi biasa.”</span><br /><br />Dalam
beberapa kesempatan, Rasulullah saw. mewanti para sahabat agar
berhati-hati dengan sebuah kebiasaan. Karena boleh jadi, sesuatu yang
dianggap ringan, punya dampak besar buat pembentukan hati.<br /><br />Dari Anas Ibnu Malik berkata,<span style="font-style: italic;">
“Rasulullah saw. menyampaikan sesuatu di hadapan para sahabatnya.
Beliau saw. berkata: ‘Telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka,
maka aku belum pernah melihat kebaikan dan keburukan seperti pada hari
ini. Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan
sedikit tertawa dan banyak menangis.’ Anas berkata, “Tidak pernah datang
kepada sahabat Rasulullah suatu hari yang lebih berat kecuali hari
itu.” Berkata lagi Anas, “Para sahabat Rasulullah menundukkan
kepala-kepala mereka dan terdengar suara tangisan mereka.”</span> (Bukhari & Muslim)<br /><br />Sekecil
apa pun dosa, terlebih ketika menjadi biasa, punya dampak tersendiri
dalam hati, pikiran, dan kemudian perilaku seseorang. Repotnya, ketika
si pelaku tidak menyadari. Justru orang lain yang lebih dulu menangkap
ketidaknormalan itu.<br /><br />Di antara dampak dosa yang kadang remeh dan
tidak terasa adalah sebagai berikut: pertama, melemahnya hati dan tekad.
Kelemahan ini ketika tanpa sadar, seseorang tidak lagi bergairah
menunaikan ibadah sunah. Semuanya tinggal yang wajib. Nilai-nilai tambah
ibadah menjadi hilang begitu saja. Tiba-tiba, ia menjadi enggan
beristighfar. Sementara, hasrat untuk melakukan kemaksiatan mulai
menguat.<br /><br />Kedua, seseorang akan terus melakukan perbuatan dosa dan
maksiat, sehingga ia akan menganggap remeh dosa tersebut. Padahal, dosa
yang dianggap remeh itu adalah besar di sisi Allah ta’ala.<br /><br />Di
antara bentuk itu adalah ucapan-ucapan dusta. Awalnya mungkin hanya
sekadar canda agar orang lain bisa tertawa. Tapi, ucapan tanpa makna itu
akhirnya menjadi biasa. Padahal di antara ciri seorang mukmin selalu
menghindar dari perbuatan laghwi, tanpa makna. Allah swt. berfirman, <span style="font-style: italic;">“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk
dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna.”</span> (QS. 23: 1-3)<br /><br />Seorang
sahabat Rasul, Ibnu Mas’ud, pernah memberikan perbandingan antara
seorang mukmin dan fajir. Terutama, tentang cara mereka menilai sebuah
dosa. Beliau r.a. berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin ketika melihat
dosanya seakan-akan ia berada di pinggir gunung. Ia takut gunung itu
akan menimpa dirinya. Dan seorang yang fajir tatkala melihat dosanya,
seperti memandang seekor lalat yang hinggap di hidungnya, lalu
membiarkannya terbang.” (HR. Bukhari)<br /><br />Ketiga, dosa dan maksiat
akan melenyapkan rasa malu. Padahal, malu merupakan tonggak kehidupan
hati, pokok dari segala kebaikan. Jika rasa malu hilang, maka lenyaplah
kebaikan. Nabi saw. bersabda, “Malu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR.
Bukhari Muslim)<br /><br />Keempat, sulitnya menyerap ilmu keislaman. Ini
karena dosa mengeruhkan cahaya hati. Padahal, ilmu keislaman merupakan
pertemuan antara cahaya hidayah Allah swt. dengan kejernihan hati.<br /><br />Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’i pernah menuturkan pengalaman pribadinya. Ketika
itu, ulama yang biasa disebut Imam Syafi’i ini merasakan adanya
penurunan kemampuan menghafal. Ia pun mengadukan hal itu ke seorang
gurunya yang bernama Waqi’. Penuturan itu ia tulis dalam bentuk untaian
kalimat yang begitu puitis.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Aku mengadukan buruknya hafalanku kepada Waqi’</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Beliau memintaku untuk membersihkan diri dari segala dosa dan maksiat</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Beliau pun mengajarkanku bahwa ilmu itu cahaya</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Dan cahaya Allah tidak akan pernah menembus pada hati yang pendosa</span><br /><br />Ada
satu dampak lagi yang cukup memprihatinkan. Seseorang yang hatinya
berserakan debu dosa enggan bertemu sapa dengan sesama mukmin. Karena
magnit cinta dengan sesama ikhwah mulai redup, melemah. Sementara,
kecenderungan bergaul dengan lingkungan tanpa nilai justru menguat. Ada
pemberontakan terselubung. Berontak untuk bebas nilai.<br /><br />Perjalanan
hidup memang bukan jalan lurus tanpa terpaan debu. Kian cepat kita
berjalan, semakin keras butiran debu menerpa. Berhati-hatilah, karena
sekecil apa pun debu, ia bisa mengurangi kemampuan melihat. Sehingga
tidak lagi jelas, mana nikmat; mana maksiat.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Cibeber, Cimahi Selatan, Indonesia-6.89576 107.530021-6.911524 107.51028000000001 -6.879996 107.549762tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-24425374980187611142011-11-22T06:32:00.001-08:002011-11-22T06:34:31.883-08:00TA'LIFUL QULUB<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYuan7YAvTsJEweVS_NrRU6TtMuLeLuqAJtPGxgKNKrBPazcZWmVXZpyIY8bg9j1NSnSPFVUldjyHp2p0tSC121R2QAzJyh03myfDJF8bXiOPNGawnulPX4KQ8Aahk5z0slORWjp3Nnm0s/s1600/merpati.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYuan7YAvTsJEweVS_NrRU6TtMuLeLuqAJtPGxgKNKrBPazcZWmVXZpyIY8bg9j1NSnSPFVUldjyHp2p0tSC121R2QAzJyh03myfDJF8bXiOPNGawnulPX4KQ8Aahk5z0slORWjp3Nnm0s/s1600/merpati.jpg" /></a></div>
<div class="text" style="background-color: white; color: #1893a2; font-family: 'Trebuchet MS', Arial, Helvetica, sans-serif; margin-bottom: 10px; text-align: center;">
<span class="Apple-style-span" style="font-size: 11px;"><b>Gambar Ilustrasi</b></span></div>
<div class="text" style="background-color: white; color: #1893a2; font-family: 'Trebuchet MS', Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 13px; margin-bottom: 10px; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11px; font-weight: bold;">Oleh : Abu Zaky Al-Kalimantany<br />Sumber : <a href="http://www.al-ikhwan.net/index.php/tazkiyyah-an-nufus/2007/taliful-qulub/" style="color: #1893a2; text-decoration: none;">al-ikhwan</a></span><br /><br /><span style="font-style: italic;">“<span style="font-size: 23px;"><span style="font-weight: bold;">R</span></span>uh-ruh itu adalah tentara-tentara yang selalu siap siaga, yang telah saling mengenal maka ia (bertemu dan) menyatu, sedang yang tidak maka akan saling berselisih (dan saling mengingkari)”.</span> (HR. Muslim)<a name='more'></a><br /><br />Inilah karakter ruh dan jiwa manusia, ia adalah tentara-tentara yang selalu siap siaga, kesatuaannya adalah kunci kekuatan, sedang perselisihannya adalah sumber bencana dan kelemahan. Jiwa adalah tentara Allah yang sangat setia, ia hanya akan dapat diikat dengan kemuliaan Yang Menciptakanya,. Allah berfirman yang artinya:<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelajakan semua (kekayaan) yang berada dibumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.</span> (QS. 8:63)<span class="fullpost" style="display: inline;"><br /><br />Dan tiada satupun ikatan yang paling kokoh untuk mempertemukannya selain ikatan akidah dan keimanan. Imam Syahid Hasan Al Banna berkata:<span style="font-style: italic;">“Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekokoh-kokoh ikatan dan semulia-mulianya. Ukhuwah adalah saudaranya keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kembarnya kekufuran”</span>. (Risalah Ta’lim, 193)<br /><br />Sebab itu, hanya dengan kasih mengasihi karena Allah hati akan bertemu, hanya dengan membangun jalan ketaatan hati akan menyatu, hanya dengan meniti di jalan dakwah ia akan berpadu dan hanya dengan berjanji menegakkan kalimat Allah dalam panji-panji jihad fi sabilillah ia akan saling erat bersatu. Maka sirami taman persaudaraan ini dengan sumber mata air kehidupan sebagai berikut:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Sirami dengan mata Air Cinta dan Kasih sayang</span><br /><br />Kasih sayang adalah fitrah dakhil dalam jiwa setiap manusia, siapapun memilikinya sungguh memiliki segenap kebaikan dan siapapun yang kehilangannya sungguh ditimpa kerugian. Ia menghiasi yang mengenakan, dan ia menistakan yang menanggalkan. Demikianlah pesan-pesan manusia yang agung akhlaqnya menegaskan. Taman persaudaraan ini hanya akan subur oleh ketulusan cinta, bukan sikap basa basi dan kemunafikan. Taman ini hanya akan hidup oleh kejujuran dan bukan sikap selalu membenarkan. Ia akan tumbuh berkembang oleh suasana nasehat menasehati dan bukan sikap tidak peduli, ia akan bersemi oleh sikap saling menghargai bukan sikap saling menjatuhkan, ia hanya akan mekar bunga-bunga tamannya oleh budaya menutup aib diri dan bukan saling menelanjangi. Hanya ketulusan cinta yang sanggup mengalirkan mata air kehidupan ini, maka saringlah mata airnya agar tidak bercampur dengan iri dan dengki, tidak keruh oleh hawa nafsu, egoisme dan emosi, suburkan nasihatnya dengan bahasa empati dan tumbuhkan penghargaannya dengan kejujuran dan keikhlasan diri.<span style="font-style: italic;"> Maka niscaya ia akan menyejukkan pandangan mata yang menanam dan menjengkelkan hati orang-orang kafir</span> (QS.48: 29).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Sinari dengan cahaya dan petunjuk jalan</span><br /><br />Bunga-bunga tamannya hanya akan mekar merekah oleh sinar mentari petunjuk-Nya dan akan layu karena tertutup oleh cahaya-Nya. Maka bukalah pintu hatimu agar tidak tertutup oleh sifat kesombongan, rasa kagum diri dan penyakit merasa cukup. Sebab ini adalah penyakit umat-umat yang telah Allah binasakan. Dekatkan hatimu dengan sumber segala cahaya (Alquran) niscaya ia akan menyadarkan hati yang terlena, mengajarkan hati yang bodoh, menyembuhkan hati yang sedang sakit dan mengalirkan energi hati yang sedang letih dan kelelahan. Hanya dengan cahaya, kegelapan akan tersibak dan kepekatan akan memudar hingga tanpak jelas kebenaran dari kesalahan, keikhlasan dari nafsu, nasehat dari menelanjangi, memahamkan dari mendikte, objektivitas dari subjektivitas, ilmu dari kebodohan dan petunjuk dari kesesatan. Sekali lagi hanya dengan sinar cahaya-Nya, jendela hati ini akan terbuka. <span style="font-style: italic;">“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al Quran ataukah hati mereka telah terkunci”.</span> (QS. 47:24)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Bersihkan dengan sikap lapang dada</span><br /><br />Minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan maksimalnya adalah itsar ( mementingkan orang lain dari diri sendiri) demikian tegas Hasan Al Banna. Kelapangan dada adalah modal kita dalam menyuburkan taman ini, sebab kita akan berhadapan dengan beragam tipe dan karakter orang, dan <span style="font-style: italic;">“siapapun yang mencari saudara tanpa salah dan cela maka ia tidak akan menemukan saudara”</span> inilah pengalaman hidup para ulama kita yang terungkap dalam bahasa kata untuk menjadi pedoman dalam kehidupan. Kelapang dada akan melahirkan sikap selalu memahami dan bukan minta dipahami, selalu mendengar dan bukan minta didengar, selalu memperhatikan dan bukan minta perhatian, dan belumlah kita memiliki sikap kelapangan dada yang benar bila kita masih selalu memposisikan orang lain seperti posisi kita, meraba perasaan orang lain dengan radar perasaan kita, menyelami logika orang lain dengan logika kita, maka kelapangan dada menuntut kita untuk lebih banyak mendengar dari berbicara, dan lebih banyak berbuat dari sekedar berkata-kata. <span style="font-style: italic;">“Tidak sempurna keimanan seorang mukmin hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya”</span>. ( HR. Bukhari Muslim)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Hidupkan dengan Ma’rifat</span><br /><br />Hidupkan bunga-bunga di taman ini dengan berma’rifat kepada Allah dengan sebenar-benar ma’rifat, ma’rifat bukanlah sekedar mengenal atau mengetahui secara teori, namun ia adalah pemahaman yang telah mengakar dalam hati karena terasah oleh banyaknya renungan dan tadabbur, tajam oleh banyaknya dzikir dan fikir, sibuk oleh aib dan kelemahan diri hingga tak ada sedikitpun waktu tersisa untuk menanggapi ucapan orang-orang yang jahil terlebih menguliti kesalahan dan aib saudaranya sendiri, tak ada satupun masa untuk menyebarkan informasi dan berita yang tidak akan menambah amal atau menyelesaikan masalah terlebih menfitnah atau menggosip orang. Hanya hati-hati yang disibukkan dengan Allah yang tidak akan dilenakan oleh Qiila Wa Qaala (banyak bercerita lagi berbicara) dan inilah ciri kedunguan seorang hamba sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah apabila ia lebih banyak berbicara dari berbuat, lebih banyak bercerita dari beramal, lebih banyak berangan-angan dan bermimpi dari beraksi dan berkontribusi. <span style="font-style: italic;">“Diantara ciri kebaikan Keislaman seseorang adalah meninggalkan yang sia-sia”. </span>( HR. At Tirmidzi).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">5. Tajamkan dengan cita-cita Kesyahidan</span><br /><br />“Pasukan yang tidak punya tugas, sangat potensial membuat kegaduhan” inilah pengalaman medan para pendahulu kita untuk menjadi sendi-sendi dalam kehidupan berjamaah ini. Kerinduan akan syahid akan lebih banyak menyedot energi kita untuk beramal dari berpangku tangan, lebih berkompetisi dari menyerah diri, menyibukkan untuk banyak memberi dari mengoreksi, untuk banyak berfikir hal-hal yang pokok dari hal-hal yang cabang.<span style="font-style: italic;"> “Dan barang siapa yang meminta kesyahidan dengan penuh kejujuran, maka Allah akan menyampaikanya walaun ia meninggal diatas tempat tidurnya”</span>. ( HR. Muslim)<br /><br /><span style="font-style: italic;">“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah bersatu berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepadaMu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru (dijalan)-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, ya Allah, abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan cahay-Mu yang tidak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifat-mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong”.</span><br /><br />Amin…</span><div style="clear: both; padding-bottom: 0.25em;">
</div>
</div>
<a href="" name="3573238462571286843" style="background-color: white; color: #666666; font-family: 'Trebuchet MS', Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px; text-align: justify;"> </a><div class="data" style="background-color: white; border-bottom-color: rgb(24, 147, 162); border-bottom-style: solid; border-bottom-width: 1px; border-top-color: rgb(24, 147, 162); border-top-style: solid; border-top-width: 1px; color: #1893a2; font-family: 'Trebuchet MS', Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 11px; margin-bottom: 5px; padding-bottom: 2px; padding-left: 2px; padding-right: 2px; padding-top: 2px; text-align: center;">
Diposting oleh Razak Jr. pada pukul 7:26 AM | <a href="http://tazkiyah-annafs.blogspot.com/2008/05/taliful-qulub.html" style="color: #1893a2; text-decoration: none;" title="permalink">Baca Tersendiri</a> | <a href="http://tazkiyah-annafs.blogspot.com/" style="color: #1893a2; text-decoration: none;" title="permalink">Home</a> | </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com1Jalan Permana, Cimahi Utara, Indonesia-6.860159 107.553244-6.8641000000000005 107.5483085 -6.856218 107.55817950000001tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-46103330035070947582011-11-19T06:12:00.001-08:002011-11-19T06:15:49.975-08:00I H S A N<span style="font-size: 85%;">Oleh <span style="font-weight: bold;">Alm. Ustaz Rahmat Abdullah</span><br />Sumber : </span><a href="http://www.dakwatuna.com/index.php/tazkiyatun-nafs/2008/ihsan/" style="font-weight: bold;"><span style="font-size: 85%;">Web Dakwatuna</span></a><br />
<span style="font-size: 85%;"> </span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwjBVJEl98YvyU59fPfTiI3Xy5nAEwT5NtaNU1-VoZyuXkfaFBWuhAFLE0eKlzgiwYlZAuBdaXb2vFjqdUwIuZDXPkkmPGXeiYVT6wwZuMNkcqmPWE2EC2OCCn1JImYV7EOCLhpsL3pH35/s1600/alm-rahmat-abdullah2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwjBVJEl98YvyU59fPfTiI3Xy5nAEwT5NtaNU1-VoZyuXkfaFBWuhAFLE0eKlzgiwYlZAuBdaXb2vFjqdUwIuZDXPkkmPGXeiYVT6wwZuMNkcqmPWE2EC2OCCn1JImYV7EOCLhpsL3pH35/s1600/alm-rahmat-abdullah2.jpg" /></a></div>
<br /><span style="font-size: 180%;"><span style="font-weight: bold;">I</span></span>hsan
adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh
hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan
kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai
target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki
posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh
perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah
kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang
mulia.<br />
<a name='more'></a><br /><span class="fullpost"><br />Oleh karenanya, seorang muslim
hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama
saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian
terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan
utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan
oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini
menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril
—yang menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan.
Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya,
“Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama
kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan
Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam
Al-Qur`an.<br /><br />“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)<br /><br />“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Pengertian Ihsan</span><br /><br />Ihsan
berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik,
sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah
swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.<br /><br />“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)<br /><br />“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)<br /><br />Ibnu
Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk
Allah swt.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Landasan Syar’i Ihsan</span><br /><br />Pertama, Al-Qur`anul Karim<br /><br />Dalam
Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan
implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia
dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat
istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi
landasan akan hal ini.<br /><br />“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)<br /><br />“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)<br /><br />“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (QS. Al-Baqarah: 83)<br /><br />“Dan
berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat,
ibnu sabil, dan para hamba sahayamu….” (QS. An-Nisaa`: 36)<br /><br />Kedua, As-Sunnah<br /><br />Rasulullah
saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia
merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di
antara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi
landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan
mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang
ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan,
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila
engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR.
Muslim)<br /><br />Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka
jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih,
sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan</span><br /><br />Ihsan
meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah
ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok
bahasan kita kali ini.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Ibadah</span><br /><br />Kita
berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis
ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang
benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal
ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali
jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita
rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa
Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat
dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah
senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan
ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari
ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari
perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu.”<br /><br />Kini jelaslah bagi kita bahwa
sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain
jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah
juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin,
mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk
mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah,
Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti
itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam
ibadahnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tingkatan Ibadah dan Derajatnya</span><br /><br />Berdasarkan
nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan,
yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak
dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada
setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi
adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul Firdaus, derajat
tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan
saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana
penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan
jauhnya jarak antara mereka.<br /><br />Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.<br /><br /> 1. Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.<br /> 2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.<br /> 3. Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.<br /><br />Pertama, Tingkat Takwa<br /><br />Tingkat
takwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka
yang masuk kategori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketakwaan
masing-masing.<br /><br />Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan
seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini
berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan
sanksi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan
demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan
meninggalkan semua larangan-Nya.<br /><br />Namun, ada satu hal yang harus
kita pahami dengan baik, yaitu bahwa Allah swt. Maha Mengetahui keadaan
hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan
kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah
membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan
pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah swt. akan mengampuni hamba-Nya
yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa.
Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa,
boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.<br /><br />Peringkat
ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat
ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun
derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana
seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman
yang benar yang diterima oleh Allah swt.<br /><br />Kedua, Tingkat al-Bir<br /><br />Peringkat
ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini
sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari
ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
oleh Allah swt. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang
wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.<br /><br />Peringkat
ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan
perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan
dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan
ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu
bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala di dalamnya.<br /><br />Akantetapi,
mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam
kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu
peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak
untuk naik pada peringkat selanjutnya.<br /><br />Dengan demikian,
barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia
tidak mengimani unsur-unsur kaidah iman dalam Islam, serta tidak
terhindar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat
ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman dalam kitab-Nya,
“Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (QS.
l-Baqarah: 189)<br /><br />“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar
seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada
Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami
dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan
wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik.” (QS. Ali
‘Imran: 193)<br /><br />Ketiga, Tingkatan Ihsan<br /><br />Tingkatan ini akan
dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah
orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua
(peringkat takwa dan al-bir).<br /><br />Ketika kita mencermati pengertian
ihsan dengan sempurna —seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya– maka
kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga
keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara
(metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan
sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah
sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.<br /><br />Untuk
dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai
melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh
Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah swt.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2. Muamalah</span><br /><br />Dalam
bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36,
yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu.”<br /><br />Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan
adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya,
dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini,
kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam
bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan
tersebut:<br /><br />Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua<br /><br />Allah swt.
menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara
keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (QS. Al-Israa’:
23-24)<br /><br />Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.<br /><br />Dalam
sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw.
bersabda, “Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan
kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”<br /><br />Dalil di atas
menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika
tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita
tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang
ketakwaan, keimanan, dan keislaman.<br /><br />Kedua, Ihsan kepada kerabat karib<br /><br />Ihsan
kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan
mereka, bahkan Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan
silatuhrahmi dengan perusak di muka bumi. Allah berfirman, “Maka apakah
kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22)<br /><br />Silaturahmi
adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan
sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya
adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits
qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku
telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka,
barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan
barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.”
(HR. Turmudzi)<br /><br />Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak
akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR.
Syaikahni dan Abu Dawud)<br /><br />Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin<br /><br />Diriwayatkan
oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti
ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya).”<br /><br />Diriwayatkan
oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa —dari Kaum Muslimin—
yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah
akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan
dosa yang tidak terampuni.”<br /><br />Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat<br /><br />Ihsan
kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau
tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh
karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.<br /><br />Adapun yang
dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar
pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had,
dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang
tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga
muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim;
sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai
tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw.
menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman, demi
Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak
beriman, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman
tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani)<br /><br />Pada hadits yang
lain, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang
kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia
megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)<br /><br />Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya<br /><br />Rasulullah
saw. bersabda mengenai hal ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan
Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)<br /><br />Selain
itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi
kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya
jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.<br /><br />Pada riwayat
yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan
hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi,
“Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh
puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)<br /><br />Dalam
riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya
membuat makanan untuk salah seorang di antara kamu, kemudian ia datang
membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka
hendaklah kamu mempersilakannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya
makan sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua suapan.”
(HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)<br /><br />Adapun muamalah terhadap
pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum
keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak
sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya.
Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa
yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.<br /><br />Pada
akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah swt. menutupnya
firman-Nya yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap
orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj: 38)<br /><br />Ayat
di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang
tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya
ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh
Allah swt.<br /><br />Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia<br /><br />Rasulullah
saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat,
hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)<br /><br />Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”<br /><br />Bagi
manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling
menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya
dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka
yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan
tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.<br /><br />Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang<br /><br />Berbuat
ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar,
mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya,
tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia
lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya
dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang
tajam.<br /><br />Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah</span><br /><br />Pada
Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw., yaitu
Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan
giginya. Kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar
mereka diazab oleh Allah. Akantetapi, Rasulullah malah berkata, “Ya
Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”<br /><br />Suatu
hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya,
“Kipasilah aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya
sampai Umar tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur.
Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba
sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak
menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata,
“Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan
seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana
engkau melakukannya padaku.”<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Akhlak</span><br /><br />Ihsan
dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah.
Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah
melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits
yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai
oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah.
Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga
mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas
dalam perilaku dan karakternya.<br /><br />Jika kita ingin melihat nilai
ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya–
maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia
bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya,
keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua,
maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus
hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”<br /><br />Kesimpulannya,
ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh
karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha
dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat
tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah tidak ada
yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik
ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua
dapat mencapai hal ini, sebelum Allah swt. mengambil ruh ini dari kita.
Wallahu a’lam bish-shawwab.</span><br />
<a href="" name="6844402238890844490"> </a>
Diposting oleh Razak Jr. pada pukul 9:46 AM | <a href="http://tazkiyah-annafs.blogspot.com/2008/02/i-h-s-n.html" title="permalink">Baca Tersendiri</a> | <a href="http://tazkiyah-annafs.blogspot.com/" title="permalink">Home</a> |Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Jalan Permana, Cimahi Utara, Indonesia-6.860159 107.553244-6.8641000000000005 107.5483085 -6.856218 107.55817950000001tag:blogger.com,1999:blog-1825358111206099267.post-5075412659356848102011-11-18T06:34:00.001-08:002011-11-18T06:51:10.744-08:00KEMATIAN DAN RINDU BERTEMU DENGAN ALLAH<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsPYhV03ij1_KsSgYRQK9MWa3QahzWwLN0dhwpH-ITkLGVcL-eYWxpBFqLqdH9e2LU_YJiNAqfwjqhnQolLG3FLupHwh4azVse9Ur9sCspUrlzqSxx0up9OF_kMUP-PpGWbZ29XAp5b8S7/s1600/ilustrasi-untuk-Allah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsPYhV03ij1_KsSgYRQK9MWa3QahzWwLN0dhwpH-ITkLGVcL-eYWxpBFqLqdH9e2LU_YJiNAqfwjqhnQolLG3FLupHwh4azVse9Ur9sCspUrlzqSxx0up9OF_kMUP-PpGWbZ29XAp5b8S7/s320/ilustrasi-untuk-Allah.jpg" width="240" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: 85%;"><strong><b><span style="font-size: x-small; font-weight: normal;"> gambar ilustrasi</span></b></strong></span></div>
<br />
<span style="font-size: 85%;"><strong>Oleh : Mochamad Bugi<br />Sumber : <a href="http://www.dakwatuna.com/index.php/tazkiyatun-nafs/2008/kematian-dan-rindu-bertemu-dengan-allah/">Dakwatuna</a></strong></span><strong> <br /><br /><span style="font-size: 180%;">U</span></strong>badah
bin Shamid r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah
berfirman: Apabila hamba-Ku senang untuk bertemu dengan-Ku, Aku juga
senang untuk bertemu dengannya. Dan jika dia tidak suka untuk bertemu
dengan-Ku, Aku juga tidak suka untuk bertemu dengannya.” (HR. Bukhari,
hadits shahih)<br />
<a name='more'></a><br /><br />Ubadah bin Shamid r.a. meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa senang untuk bertemu dengan
Allah, maka Allah juga senang untuk bertemu dengannya. Dan barangsiapa
tidak senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah juga tidak senang
untuk bertemu dengannya.”<br /><span class="fullpost"><br />Aisyah –salah
seorang istri Nabi saw.—bertanya, “Kita membenci kematian.” Nabi saw.
bersabda, “Bukan itu yang aku maksud, melainkan orang mukmin ketika
dijemput oleh kematian, ia mendapatkan kabar gembira bahwa ia memperoleh
ridha dan karamah Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai
daripada apa yang ada di hadapannya sehingga ia amat senang untuk
bertemu dengan Allah. Allah pun senang untuk bertemu dengannya. Adapun
orang kafir ketika dijemput oleh kematian, maka ia mendapatkan kabar
gembira bahwa ia akan mendapatkan azab dan siksa Allah, maka tidak
sesuatu yang paling ia benci daripada apa yang ada di hadapannya
sehingga ia tidak senang untuk bertemu dengan Allah. Allah pun tidak
senang untuk bertemu dengannya.” (HR. Bukhari, hadits shahih)<br /><br />Abu
Musa al-Asy’ari r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa senang untuk bertemu dengan Allah, maka Allah juga senang
untuk bertemu dengannya. Dan barangsiapa tidak senang untuk bertemu
dengan Allah, maka Allah juga tidak senang untuk bertemu dengannya.”
(HR. Bukhari, hadits shahih)<br /><br />Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa senang untuk bertemu dengan
Allah, niscaya Allah juga senang untuk bertemu dengannya. Dan
barangsiapa tidak senang untuk bertemu dengan Allah, niscaya Allah juga
tidak senang untuk bertemu dengannya. Kematian itu datang sebelum
(seseorang) bertemu Allah.” (HR. Muslim, hadits shahih)<br /><br />Aisyah
r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa senang
untuk bertemu dengan Allah, maka Allah juga senang untuk bertemu
dengannya. Dan barangsiapa benci untuk bertemu dengan Allah, maka Allah
juga benci untuk bertemu dengannya.” Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah,
apakah –yang dimaksud dengan benci untuk bertemu dengan Allah
adalah—membenci kematian? Setiap kita membenci kematian.”<br /><br />Nabi
menjawab, “Bukan seperti itu, melainkan orang mukmin ketika mendapatkan
kabar gembira bahwa ia memperoleh rahmat, ridha, dan surga Allah, maka
ia senang untuk bertemu dengan Allah. Alah pun senang untuk bertemu
dengannya. Adapun orang kafir ketika mendapatkan kabar gembira bahwa ia
akan mendapatkan azab dan murka Allah, maka ia benci untuk bertemu
dengan Allah. Allah pun benci untuk bertemu dengannya.” (HR. Muslim,
hadits shahih)<br /><br />Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Allah swt. berfirman: Apabila hamba-Ku senang untuk
bertemu dengan-Ku, Aku pun senang untuk bertemu dengannya. Dan jika dia
tidak suka untuk bertemu dengan-Ku, Aku pun tidak suka untuk bertemu
dengannya.” (HR. Imam Malik, hadits shahih)<br /><br />Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Malaikat Maut diutus untuk
mencabut nyawa Nabi Musa a.s. Ketika Malaikat Maut tiba di hadapan Nabi
Musa, Nabi Musa langsung memukul mata Malaikat Maut. Kemudian Malaikat
Maut kembali menghadap Tuhannya seraya berkata, ‘Engkau mengutusku
kepada seorang hamba yang tidak mau mati.’ Allah berkata, ‘Kembalilah
dan katakan kepadanya agar ia meletakkan tangannya pada bulu sapi
jantan. Maka setiap helai bulu yang ditutupi oleh tangannya berarti satu
tahun.’ Musa berkata, ‘Wahai Tuhan, setelah itu?’ Allah menjawab,
‘Kematian.’ Musa berkata, ‘Saat iniah waktu kematian itu.’ Kemudian Musa
memohon kepada Allah agar ia dimakamkan di dekat Baitul Maqdis, sejauh
lemparan batu.’” Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Seandainya
aku berada di sana, aku pasti akan memperlihatkan kepada kalian
kuburannya yang terletak di samping jalan di kaki bukit berpasir
merah.’” (HR. Bukhari, hadits shahih)<br /></span><br />
<a href="" name="782253742009593153"> </a>
Diposting oleh Razak Jr. pada pukul 8:58 AM | <a href="http://tazkiyah-annafs.blogspot.com/2008/02/kematian-dan-rindu-bertemu-dengan-allah.html" title="permalink">Baca Tersendiri</a> | <a href="http://tazkiyah-annafs.blogspot.com/" title="permalink">Home</a> |
<br /></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/05456146304873229355noreply@blogger.com0Jalan Permana, Cimahi Utara, Indonesia-6.860159 107.553244-6.8641000000000005 107.5483085 -6.856218 107.55817950000001