Menghindar Dari Fitnah Harta dan Anak
Posted by : Unknown
on 04.15
sumber gambar: http://bestk43l.blogspot.com/2010/07/hartamu-dan-anak-anakmu-adalah-fitnah.html
sumber gambar: http://ridwanaz.com/islami/mewaspadai-fitnah-yang-dapat-ditimbulkan-dari-harta-kita/
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”
(Al-Munafiqun: 9)
Penjelasan Mufradat Ayat
“Mengingat Allah.”
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan makna dzikrullah dalam ayat
ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah seluruh amalan
wajib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Al-Hasan, dan dikuatkan oleh
Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir. Adh-Dhahhak dan ‘Atha` menerangkan:
“Yang dimaksud adalah shalat wajib.” Al-Kalbi berkata: “Yang dimaksud
adalah berjihad bersama Rasulullah n.” Ada lagi yang berpendapat:
“Al-Qur`an.”
Yang shahih bahwa dzikrullah dalam ayat ini bersifat umum, mencakup
semua yang mereka sebutkan, sebagaimana dikatakan Al-Alusi dalam
tafsirnya.
Penjelasan Makna Ayat
Ketika menerangkan ayat ini, Al-Allamah As-Sa’di t mengatakan:
“(Allah) k memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk
memperbanyak berdzikir kepada-Nya, karena hal itu akan mendatangkan
keberuntungan, kemenangan, dan kebaikan yang banyak. Allah l juga
melarang mereka tersibukkan dengan harta dan anak-anak mereka dari
berdzikir kepada-Nya. Karena mencintai harta dan anak-anak adalah
sesuatu yang menjadi tabiat kebanyakan jiwa, sehingga akan menyebabkan
lebih dia utamakan daripada kecintaan kepada Allah l. Dan hal itu akan
mendatangkan kerugian yang besar. Oleh karenanya, Allah l berfirman
‘Barangsiapa yang melakukan itu’, yaitu harta dan anak melalaikannya
dari berdzikir kepada Allah l, ‘maka mereka itulah orang-orang yang
merugi’ dari mendapatkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang
kekal, karena mereka lebih mengutamakan kehidupan yang fana daripada
kehidupan yang kekal. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di
sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15) [Taisir Al-Karim
Ar-Rahman]
Al-Alusi berkata: “Janganlah karena mementingkan pengurusan
(anak-anak dan harta) dan memerhatikan kemaslahatannya serta
bersenang-senang dengannya, menyebabkan kalian tersibukkan dari
berdzikir kepada Allah k berupa shalat dan ibadah-ibadah lainnya, yang
akan mengingatkan kalian kepada sesembahan yang haq l.” (Tafsir
Al-Alusi)
Asy-Syaukani t menyebutkan bahwa harta dan anak-anak yang melalaikan
dari berdzikir kepada Allah l merupakan salah satu akhlak kaum
munafiqin. (Fathul Qadir)
Anak dan Harta Sebagai Perhiasan Dunia
Ayat Allah k ini menjelaskan bahwa anak dan harta merupakan sebuah
kesenangan dan perhiasan yang melengkapi kehidupan seseorang di dunia.
Dengannya, dia merasakan kebahagiaan dan ketentraman dalam hidupnya. Di
dalam ayat lain Allah k berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga). Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu
apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang
bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka
dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ali ‘Imran: 14-15)
Namun demikian, kebahagiaan dengan mendapatkan karunia berupa harta dan anak tidaklah sempurna, jika tidak dibarengi iman
dan amal shalih yang akan menunjang kehidupan dan kebahagiaan dunia
serta akhiratnya. Oleh karenanya, bagi seorang mukmin, kehidupan akhirat
jauh lebih penting dan lebih utama daripada kehidupan dunia. Sehingga
kesenangan yang dia rasakan di dunia tidak akan menjadi penyebab
kelalaiannya untuk mengejar kehidupan yang lebih kekal dan kebahagiaan
yang bersifat abadi di akhirat. Allah k berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Asy-Syinqithi t menerangkan: “Yang dimaksud ayat yang mulia ini
adalah peringatan kepada manusia agar senantiasa beramal shalih, agar
mereka tidak tersibukkan dengan perhiasan kehidupan dunia berupa harta
dan anak-anak, dari sesuatu yang memberi manfaat kepada mereka di
akhirat di sisi Allah l berupa amalan-amalan yang shalih.” (Adhwa`ul
Bayan, 4/80, cetakan Darul Hadits, Kairo)
Sehingga pada hakikatnya, di balik kesenangan dan kebahagiaan
mendapatkan harta dan anak, keduanya merupakan ujian yang apabila
seorang hamba tidak memanfaatkannya dengan baik maka dapat menyebabkan
kebinasaan dan kehancuran kehidupan dunia serta akhiratnya. Allah k
berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)
Juga firman-Nya:
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.”
(Asy-Syu’ara`: 88-89)
Demikian pula Rasulullah n. Beliau n senantiasa memperingatkan
umatnya dari bahaya fitnah (cobaan) harta dan anak. Di antaranya adalah
yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Ka’b bin ‘Iyadh z bahwa Rasulullah n
bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai ujian, dan ujian bagi umatku
adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336, dishahihkan oleh Al-Albani t
dalam Shahihul Jami’ no. 2148)
Demikian pula tentang anak, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ
“Sesungguhnya anak itu penyebab kekikiran dan ketakutan.” (HR. lbnu Majah no. 3666, Al-Hakim
dalam Mustadrak, 3/179, Al-Baihaqi, 10/202, Ibnu Abi Syaibah 6/378,
Ath-Thabarani, 3/32, dishahihkan Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’)
Al-Munawi berkata menjelaskan hadits ini: “Yaitu membawa kedua
orangtuanya untuk berbuat bakhil dan mendorongnya untuk bersifat
demikian sehingga dia menjadi kikir harta karenanya, serta meninggalkan
jihad karenanya.” Al-Mawardi berkata: “Hadits ini mengabarkan bahwa
hendaknya seseorang berhati-hati terhadap anak, yang dapat menyebabkan
munculnya sifat-sifat ini. Juga akan memunculkan akhlak yang demikian.
Ada sebagian kaum yang membenci untuk meminta dikaruniai anak karena
khawatir keadaan yang tidak mampu dia tolak dari dirinya, sebab
menetapnya hal ini (pada diri manusia) secara alami dan mesti terjadi.”
(Faidhul Qadir, 2/403)
Masing-masing Ada Saatnya
Dalam Shahih Muslim (no. 2750), dari sahabat Hanzhalah Al-Usayyidi z
–salah seorang juru tulis Rasulullah n– dia berkata: Abu Bakr z
menemuiku lalu bertanya: “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?”
Beliau berkata: Aku menjawab: “Hanzhalah telah munafik!”
Abu Bakr berkata: “Subhanallah, apa yang engkau katakan?”
Aku berkata: “Tatkala kami berada di samping Rasulullah n, beliau
mengingatkan kami tentang neraka dan surga, sehingga seakan-akan kami
melihatnya dengan mata kepala. Namun di saat kami keluar dari sisi
Rasulullah n, kami menyibukkan diri bersama istri, anak-anak dan
kehidupan, sehingga kami banyak lupa.”
Abu Bakr z pun berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”
Akupun berangkat bersama Abu Bakr z hingga kami masuk ke tempat
Rasulullah n. Aku berkata: “Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah.”
Maka Rasulullah n bertanya: “Ada apa?”
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, kami berada di sisimu, engkau
mengingatkan kami dengan neraka dan surga sehingga seakan-akan kami
melihatnya dengan mata kepala. Namun jika kami keluar dari sisimu maka
kamipun sibuk bersama istri, anak-anak, dan kehidupan sehingga kami
banyak lupa.”
Maka Rasulullah n bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ
عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ
وَفِي طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً -ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya kalian
terus-menerus (memiliki keimanan) seperti di saat kalian berada di
sisiku dan selalu berdzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian
di atas tempat-tempat tidur dan di jalan-jalan (yang kalian lalui).
Namun wahai Hanzhalah, masing-masing ada saatnya.” Beliau mengucapkannya
tiga kali.
‘Ali Al-Qari berkata tatkala menjelaskan hadits ini: “Kesimpulan
maknanya adalah: Wahai Hanzhalah, terus-menerus dalam keadaan yang
disebutkan adalah satu kesulitan yang tidak seorang pun mampu
melakukannya, sehingga Allah l tidaklah membebani demikian. Namun yang
sanggup dilakukan oleh kebanyakan adalah seseorang mempunyai waktu
berada dalam keadaan seperti ini. Tidak ada dosa baginya menyibukkan
dirinya untuk bersenang-senang dengan apa yang disebutkan di waktu yang
lain. Engkau dalam keadaan tetap berada di atas jalan yang lurus. Tidak
terdapat kemunafikan pada dirimu sama sekali seperti yang engkau sangka.
Maka berhentilah dari keyakinanmu itu, karena sesungguhnya itu termasuk
celah bagi setan untuk masuk kepada para ahli ibadah, yang akan
mengubah mereka dari apa yang telah mereka amalkan. Sehingga mereka akan
terus berusaha mengubahnya hingga mereka meninggalkan amalan tersebut.”
(Mirqatul Mafatih, 5/150)
Hadits ini menunjukkan bahwa bukanlah satu hal yang tercela jika
seseorang menyempatkan dirinya untuk bersenda gurau bersama istri dan
anak-anaknya. Juga menyibukkan diri dengan usahanya dalam mencari
nafkah. Asalkan perkara tersebut diberi porsi yang sesuai, tidak
menyebabkannya lalai dari beribadah kepada Allah l. Jangan pula
sebaliknya, karena istri yang dapat menjadi penyebab fitnah, justru
dijadikan alasan untuk tidak menikah. Atau anak dijadikan alasan
penyebab fitnah, sehingga dia menelantarkan mereka dan tidak
menyempatkan waktu bersamanya. Atau harta yang dapat menjadi penyebab
fitnah sehingga meninggalkan mencari nafkah dan tidak menafkahi
orang-orang yang wajib dia nafkahi. Namun semestinya semua itu
ditempatkan sesuai kedudukannya, sehingga bernilai ibadah di sisi Allah
l.
Dalam sebuah hadits dari jalan ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya,
dia berkata: Ketika Nabi n mempersaudarakan antara Salman dan Abud
Darda`, Salman datang mengunjungi kepada Abud Darda`. Beliau melihat
Ummud Darda` dalam keadaan lusuh. Beliau bertanya kepadanya: “Ada apa
denganmu?” Ia menjawab: “Saudaramu Abud Darda` tidak punya kebutuhan
terhadap dunia.” Lalu datanglah Abud Darda` dan membuatkan makanan
untuknya. Abud Darda` lalu berkata: “Makanlah, karena sesungguhnya aku
berpuasa.” Salman berkata: “Saya tidak akan makan hingga engkau makan.”
“Maka diapun makan bersama Salman. Tatkala di malam hari Abud Darda`
bangkit (untuk shalat), maka Salman berkata: “Tidurlah.” Lalu dia
bangkit, lagi maka Salman berkata: “Tidurlah.” Sehingga tatkala di akhir
malam Salman berkata: “Bangunlah sekarang.” Lalu keduanya pun shalat.
Lalu Salman berkata kepadanya: “Sesungguhnya atas diri ada hak untuk
Rabb-mu, ada hak untuk dirimu, dan ada pula hak untuk keluargamu.
Berikanlah hak tersebut kepada setiap yang memiliki haknya.” Lalu Abud
Darda` datang kepada Nabi n dan mengabarkan hal tersebut kepada beliau,
maka Nabi n bersabda: “Telah benar Salman.” (HR. Al-Bukhari, no. 1867)
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Buraidah z, ia berkata: “Suatu
ketika Rasulullah n berkhutbah di hadapan kami. Tiba-tiba datang Hasan
dan Husain c yang keduanya sedang memakai gamis berwarna merah dan
keduanya terjatuh. Maka Rasulullah n turun dari mimbarnya dan
menggendong keduanya, lalu meletakkan keduanya di hadapannya. Lalu
beliau berkata: “Maha benar Allah k ketika berfirman: ‘Sesungguhnya
harta-harta dan anak-anak kalian adalah fitnah (ujian)’. Aku melihat dua
anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak bersabar, sehingga
aku memutus khutbahku dan menggendong keduanya.” Kemudian beliau
melanjutkan khutbahnya. (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, Ahmad, Ibnu
Hibban dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Al-Bara` bin ‘Azib z, dia
berkata: “Aku melihat Nabi n dan Hasan bin ‘Ali c berada di atas
pundaknya, lalu beliau bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku
mencintainya maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3749 dan Muslim
no. 2422)
Maka, rasa cinta kepada seorang anak dan harta, seharusnya membawa
dampak yang positif, yang semakin mendekatkan seorang hamba kepada
Rabb-nya. Dengan cara menginfakkannya di jalan Allah l jika itu berupa
harta. Adapun anak adalah dengan mendidiknya dan membiasakannya untuk
taat kepada Allah k semenjak kecil.
Semoga Allah l senantiasa membimbing kita dan keluarga kita agar senantiasa menjadi hamba yang ikhlas,
bersabar dan istiqamah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan
menjauhkan kita dari fitnah serta penyebab jauhnya hamba dari beribadah
kepada-Nya.
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan:
74)
Wallahu a’lam.
Label:
Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
terdapat pada sumber. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar