Penyucian dan pembersihan diri dari segala keburukan serta mengangkatnya ke tingkat moralitas yang luhur merupakan tugas penting para Rasul yang memang diutus untuk membawa misi demikian. Sebagian besar hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun diabdikan untuk misi yang sama karena moralitas yang luhur merupakan salah satu pokok dasar untuk memulai kehidupan secara islami menurut manhaj kenabian.


Orang yang hendak merancang tujuan tentu dia akan menyiapkan pula sarananya. Dalam analogi yang sama, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakan berbagai macam sarana penyucian diri. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskannya secara rinci kepada umatnya agar mereka bisa mencapai tujuan dimaksud. Oleh karena itu, penyucian diri tidak memiliki amalan-amalan khusus selain syi’ar-syi’ar islam. Hal itu akan dijelaskan melaui tiga kaidah sebagai berikut:

Menginduksi Syi’ar-Syi’ar Agama Secara Keseluruhan
Ketika menyimpulkan syi’ar-syiar islam dan mengaitkannya dengan tujuan moralitas luhur ini maka akan tampak jelas bahwa proses penyucian diri tidak memiliki amalan-amalan khusus.

Tauhid merupakan sarana penyucian diri

Kesadaran diri terhadap kebenaran adalah pangkal kemuliaan dan induk moralitas yang luhur. Pangkal hikmah adalah ma’rifat (penganalan), menyembah, dan takut kepada Allah ta’ala. Tak ada kebenaran yang lebih besar dan lebih jelas menurut orang yang berakal, selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu menyekutukan Allah merupakan tindakan kotor lagi najis, sebagaimana yang difirmankan Allah :”Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”. (At-Taubah:28).

Demikianlah ungkapan Al-Qur’an yang menilai ruh orang-orang musyrik itu najis dan jiwa mereka pun kotor. Ruh dan jiwa mereka itu menjadi ukuran penilaian seberapa bagus kualitas manusia itu. Dengan demikian, manusia secara keseluruhan adalah najis, menjijikkan dan dijauhi oleh orang-orang yang menyucikan diri.

Ibnu Katsir berpendapat, ayat di atas menunjukkan bahwa orang musyrik itu najis sebagaimana ditegaskan dalam haits shahih,”Orang Mukmin itu tidak najis”. (HR Bukhari Muslim). Adapun najis badan, maka menurut jumhur, orang mukmin itu tidak najis fisik maupun non-fisik, mengingat, Allah saja masih menghalalkan makanan ahlul kitab bagi orang-orang mukmin. Tapi sebagian pengikut paham zahiriyah menajiskan badan orang mukmin. Hati mereka (para pengikut zahiriyah) telah kotor, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak hendak membersihkannya. Mereka telah tercebur ke dalam kotoran dan berkubang dalam najis.

Dengan demikian jelas sudah bahwa islam secara keseluruhan adalah kesucian, penyucian diri, dan pengembangan dan keutamaan. Siapa saja yang berpedoman padanya maka keimanan akan semakin jernih dan mendapatkan Nur dari Rabb-nya.
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (Al-An’am:125).

Wudhu termasuk penyucian diri

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:”Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (At-Taubah:108).

Mandi dan tayamum bagian dari penyucian diri
Allah berfirman:”Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai siku, dan sapulah kepala kalian dan(basuh) kaki kalian sampai kedua mata kaki, dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah wajah kalian dan tangan kalian dengan tangan itu. Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur”. (Al-Maidah:6)

Menjauhi istri pada saat haid dan nifas termasuk penyucian diri

Allah subhanahu wata’ala berfirman:”Mereka bertanaya kepadamu tentang haid. Katakanlah,’Haid itu adalah suatu kotoran’. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanitapada waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (Al-Baqoroh:53).

Penyucian anggota badan harus dibarengi dengan penyucian hati. Itulah sebabnya penyucian anggota badan diikuti dengan pemberian perlindungan kepada mereka dari godaan syetan dan peneguhan hati serta pengokohan pendirian. Hal ini terkanduing dalam firman-Nya:”Dan menghilangkan dari kalian gangguan-ganguan syaitan dan uuntuk menguatkan hati kalian dan memperteguh dengannya telapak kaki (kalian)”. (Al-Anfal:11).

Menyucikan hati telah dijelaskan dalm Al-Qur’an:”Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. (Al-Ahzab:53).
Sedangkan menyucikan anggota badan, firman-Nya:”Dan allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan hujan itu”.(Al-Anfal:11)

Antara hati dan pakianpun ada kaitan,”Dan pakaianmu bersihkanlah”. (Al-Muddatstsir:4)
Ibnu Abbas mengemukakan:”Jangan engkau tutupi jiwamu dengan pakaian kemaksiatan dan hal yang menjijikkan”.
Bagaimanapun membersihkan pakaian dari kotoran dan meminimalkan kotoran yang mungkin melekat pada pakaian merupakan satu sekian perintah membersihkan pakaian. Karena pakaian yang bersih dapat menyempurnakan amalan dan perangai diri. Badan dan pakaian yang najis bisa menyebabkan batin menjadi najis. Itulah sebabnya mengapa kotoran yang menempel di pakaian atau badan harus segera dihilangkan dan dijauhi.

Shalat sebagai sarana penyucian diri

Shalat berfungsi menyucikan diri dan anggota badan dari perbuatan keji dan mungkar. Firman Allah:”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar”. (Al-Ankabut:45).

Sebab dalam shalat terdapat tiga perangai, yaitu ikhlas, rasa takut, dan dzikir kepada Allah. Ikhlas menyuruh kpeda kebaikan, rasa takuit mencegah diri diri dari kemungkaran, dan dzikir kepada Allah membuat cerdas jiwa.

Shalat adalah wujud kebersamaan dengan Allah sekaligus sebagai sarana berkomunikasi dengan-Nya, yang secara psikologis akan menciptakan perasaan malu bila saat bersama dengan-Nya masih saja melakukan dosa-dosa besar dan kekejian.

Shalat merupakan bentuk pelepasan diri. Dengan shalat (yang benar-red) jiwa tidak lagi berani melakukan kekejian dan kemungkaran.

Zakat merupakan saran penyucian dan pembersihan diri
Firman Allah Subhanahu wata’ala :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu ( menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahmengetahui”. (At-Taubah:103).


Zakat fitrah merupakan bentuk penyucian diri bagi orang yang berpuasa dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna serta hal-hal yang tidak senonoh. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas ,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang tidak berguna, tindakan tidak senonoh dan memberi makan kepada orang-orang miskin.”(hadits Hasan)

Dengan demikian dapat diartikan, menginfakkan harta untuk mencari keridhoan Allah merupakan sarana untuk membersihkan, menyucikan, mengembangkan dan membenahi jiwa. Mengenai masalah ini Allah telah berfirman:”Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (dijalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhoan Tuhannya yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapatkan kepuasan”.(Al-Lail:17-21).

Puasa sebagai sarana penyucian dan pembersihan diri

Firman Allah:”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (Al-Baqoroh:183).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa puasa merupakan salah satu sebab pemberian ampunan, pembebasan dari neraka, dan masuk surga. Puasa adalah perisai, obat dan benteng dari hawa nafsu. Sebab puasa dapat mengagungkan jiwa, menindas dan memenjarakan hawa nafsu. Sehingga jiwa benar-benar terang dan tenteram.

Sumber : Ngajisalaf.net